
PERHIMPUNAN Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengingatkan bahwa tuberkulosis (Tb) masih menjadi epidemi mematikan di Indonesia, meski sudah ada berbagai program penanggulangan yang berjalan bertahun-tahun. Setiap jam, diperkirakan 14 orang meninggal akibat penyakit ini.
“Tuberkulosis masih tetap menjadi salah satu penyebab kematian utama di Indonesia. Kita menempati peringkat kedua di dunia dengan sekitar 1.090.000 kasus baru dan 125.000 kematian setiap tahun sebagaimana dikutip dari Global TB Report 2024,” ujar Sekretaris Jenderal PDPI Anna Rozaliyani dalam acara peringatan HUT PDPI ke-52, Senin (8/9).
Anna menekankan bahwa angka prevalensi Tb di Indonesia cenderung stagnan, hampir tidak bergerak dari tahun ke tahun. Tantangan kian berat karena munculnya Tb resistan obat (drug-resistant Tb serta mutasi genetik mycobacterium tuberculosis yang mempersulit terapi. “Kondisi ini menuntut regimen pengobatan yang lebih baik dan terjangkau,” lanjut dia.
Selain beban kesehatan, Tb juga menjadi masalah serius dari sisi ekonomi. Data BPJS Kesehatan 2023 menunjukkan pembiayaan Tb mencapai Rp5,2 triliun, menempati salah satu beban biaya kesehatan terbesar di Indonesia.
Namun, komitmen pemerintah dalam penanganan Tb justru dinilai menurun. Anna juga menekankan bahwa strategi kuratif saja tidak cukup untuk mengakhiri epidemi Tb di Indonesia. Paradigma baru harus diarahkan ke upaya preventif dan promotif. Screening aktif dengan alat diagnostik cepat seperti Xpert MTB/RIF disebut penting untuk memutus rantai penularan.
“Dengan screening aktif pada populasi berisiko tinggi, rantai penularan bisa diputus lebih cepat. Ini akan menurunkan morbiditas dan mortalitas, sekaligus mengurangi biaya kesehatan,” papar dia.
Di samping itu, inovasi teknologi diagnostik dan terapi dalam negeri menjadi salah satu kunci. PDPI mendorong pengembangan alat deteksi cepat, sistem kecerdasan buatan untuk analisis radiografi dada, hingga obat-obatan baru berbasis riset lokal. “Kemandirian teknologi kesehatan paru akan semakin dekat bila riset dan pengembangan dilakukan di dalam negeri. Investasi ini menyelamatkan nyawa sekaligus menurunkan biaya,” ujarnya.
Anna mengingatkan, tanpa langkah serius, Indonesia akan semakin sulit mencapai target eliminasi Tb. “Pemotongan anggaran merupakan langkah mundur yang sangat berisiko. Indonesia membutuhkan strategi yang agresif, inovatif, dan kolaboratif untuk bebas dari tuberkulosis,” tutupnya. (H-3)