Airlangga mengatakan, inflasi inti Indonesia masih stabil, tercatat sebesar 0,16 persen secara mtm, dengan andil inflasi sebesar 0,10 persen.
"Kalau core inflation itu yang menentukan deflasi atau tidak deflasi. Kalau dari segi ini, bukan deflasi (disebabkan pelemahan daya beli)," kata Airlangga kepada wartawan di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (1/10).
Airlangga mengeklaim, deflasi terjadi karena kinerja sukses yang dilakukan oleh Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) dalam mengendalikan harga.
Indonesia mencatat deflasi selama lima bulan berturut-turut pada tahun 2024. Sebuah fenomena yang mengingatkan pada kondisi ekonomi pasca krisis finansial Asia 1998.
Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, mengatakan Indonesia pernah mengalami deflasi berkepanjangan setelah krisis 1998. Deflasi tercatat selama tujuh bulan berturut-turut, dari Maret hingga September 1999.
"Pada 1999, setelah inflasi melonjak akibat depresiasi tajam rupiah, harga-harga barang kembali turun dan menyesuaikan diri ke titik keseimbangan, yang menyebabkan deflasi selama tujuh bulan berturut-turut," kata Amalia dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Selasa (1/10).
Periode deflasi juga pernah terjadi pada Desember 2008 hingga Januari 2009 akibat penurunan harga minyak dunia. Serta pada Juli hingga September 2020, saat pandemi COVID-19 berdampak pada penurunan harga berbagai komoditas.
Dalam konteks tahun 2024, Amalia mengungkapkan, deflasi lima bulan ini masih didorong oleh faktor penurunan harga, terutama dari sisi penawaran atau supply side.
Amalia menjelaskan deflasi tahun ini didorong oleh penurunan harga sejumlah komoditas pangan. "Deflasi terjadi karena adanya harga yang turun, terutama untuk produk tanaman pangan dan hortikultura seperti cabai merah, cabai rawit, daun bawang, kentang, dan wortel," jelasnya.