Isu childfree yang mengemuka di kalangan pasangan muda menuai kritik dan masukan. Seperti yang disampaikan MUI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
MUI merespons isu di masyarakat yang sebagian memilih tidak memiliki anak meskipun sudah menikah. Hal ini menjadi keprihatinan dan tantangan bagi MUI DIY.
“Ini menjadi tantangan, termasuk dalam isu childfree yang kian marak. Meskipun ada pasangan yang menikah tetapi tidak dikaruniai anak, seharusnya hal ini tidak diniatkan sejak awal. Peran MUI di sini adalah ri’ayatul ummah atau mendampingi umat,” jelas Ketua MUI DIY Prof. Machasin dalam sambutannya di Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI D.I. Yogyakarta, pada Selasa (12/11).
Di antara yang hadir pada kesempatan tersebut adalah anggota DPD RI Hilmy Muhammad, sebagai tuan rumah, serta narasumber Dr. H. Fuad Zain, Dr. Hj. Maya Fitria, M.Psi., Psi., dan Prof. Dr. Makhrus Munajat.
Sedang menurut Anggota DPD Hilmy Muhammad, yang akrab disapa Gus Hilmy, bahwa childfree tidak sesuai dengan fitrah manusia dan ajaran Islam. Kebahagiaan puncak atas pernikahan, menurutnya, adalah memiliki anak.
“Fenomena childfree sekarang ini, pada pandangan saya, sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan fitrah manusia dan ajaran Islam," kata Gus Hilmy yang juga Katib Syuriah PBNU tersebut.
Kata Gus Hilmy, salah satu tujuan perkawinan adalah berketurunan. Bahkan puncak kenikmatan dari pernikahan adalah memiliki anak, dan meneruskan peradaban.
"Dengan memiliki keturunan, manusia dapat melanjutkan cita-cita dan harapannya yang belum sempat dilakukan atau belum bisa dituntaskan,” terang dia.
Gus Hilmy mengilustrasikan, dalam al-Qur’an disebut betapa Nabi Ibrahim dan Nabi Zakariya sangat menginginkan punya anak dan keturunan.
"Dan betapa dramatisnya kisah mereka digambarkan sedemikian rupa, menunjukkan betapa anak merupakan impian dan harapan setiap pasangan dan tujuan utama dari setiap pernikahan," beber dia.
Sementara narasumber lainnya, Fuad Zain memiliki pandangan bahwa fenomena childfree seringkali dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik individu maupun sosial, yang mencakup alasan kesehatan, ekonomi, budaya barat, trauma masa lalu atau bahkan pandangan hidup yang lebih bebas.
“Padahal, pernikahan yang disyariatkan oleh Islam memiliki beberapa hikmah lainnya, seperti sebagai sarana penyaluran kebutuhan biologis antara pria dan wanita yang diridhai oleh agama Islam, memperoleh ketenangan dan kedamaian, serta memiliki keturunan sebagai sarana menjaga dan memelihara hifzhu an-nasli. Selain untuk melestarikan keturunan (nasl) pernikahan juga memiliki peran penting untuk membentuk generasi yang berkualitas dan bertakwa kepada Allah,” jelas Fuad yang juga Ketua bidang fatwa MUI DIY.