
Dugaan adanya mafia impor tekstil memicu ketegangan antara Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin). APSyFI menuding kebijakan kuota impor tidak transparan hingga membuat puluhan perusahaan gulung tikar, sementara Kemenperin membantah dengan balik menyerang asosiasi terkait gemar mengimpor.
Sekretaris Jenderal APSyFI Farhan Aqil Sauqi menuturkan, dugaan praktik mafia impor bermula dari lonjakan impor benang dan kain. Sementara itu, di sisi lain terdapat 60 perusahaan dalam negeri yang memproduksi barang sejenis justru harus tutup dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya.
Ia menuding kondisi tersebut tidak lepas dari kegagalan Kemenperin menjaga keberlangsungan rantai industri di tengah banjir impor. Semestinya, pemerintah menjaga ketersediaan bahan baku bagi industri, mulai dari sektor hulu, industri antara (intermediate), hingga hilir.
"Kalau menjaga ketersediaan bahan baku melalui impor untuk menggantikan produksi dalam negeri, artinya Kemenperin telah gagal menjaga ekosistem rantai pasok integrasi industrinya,” ujar Aqil dalam keterangan resmi, Senin (25/8).
Ia menambahkan, lemahnya pengendalian impor juga berdampak lebih luas, sebab sektor tekstil hulu sejatinya terintegrasi erat dengan sektor petrokimia yang kinerjanya ikut terimbas akibat izin impor berlebih yang dikeluarkan Kemenperin.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan jika ada mafia di dalam kementeriannya, pihaknya meminta agar hal tersebut tidak ditutup-tutupi dan nama-namanya disampaikan, sehingga bisa segera dibersihkan. Ia menambahkan bahwa Kemenperin tidak akan ragu mengambil langkah tegas.
Namun, Aqil menuding bukti-bukti yang diminta justru ada di internal Kemenperin sendiri. Menurutnya, para pejabat yang mempunyai kewenangan memberikan kuota impor selama ini tidak pernah transparan.
“Kenapa ada perusahaan yang diberi kuota impor hanya 30-50% dari kapasitas produksi, tapi ada perusahaan yang mendapat kuota impor 100% dari kapasitas? Bahkan ditenggarai ada 20 lebih perusahaan yang dimiliki oleh 4 orang saja,” tuduhnya.
“Jadi kalau Pak Menteri perlu bukti, tinggal periksa saja para pejabat yang memberikan kuota impor dalam 8 tahun terakhir dan siapa saja pejabat lain yang mempengaruhinya,” tambahnya.
Terkait tuduhan adanya anggota APSyFI yang gemar melakukan impor, Aqil berdalih anggotanya merupakan produsen hulu tekstil yang memproduksi serat dan benang filament. Ia menegaskan jika pun anggota APSyFI melakukan impor, barang yang diimpor sebatas bahan baku seperti asam tereftalat, etylene glycol, atau polyester chip.
Oleh karena itu, menurutnya, apabila ada anggota APSyFI yang mendapatkan kuota impor kain dalam jumlah besar, maka yang patut ditelusuri adalah pejabat Kemenperin yang memberikan kuota tersebut.
"Jadi kalau ada anggota kami mendapat kuota impor kain terlebih dalam jumlah besar, maka yang perlu diperiksa adalah pejabat Kemenperin yang kasih kuota,” tukasnya.
Dalam hal ini, Aqil menilai tuduhan terhadap anggota APSyFI merupakan hal yang keliru serta justru terkesan menutupi praktik mafia kuota impor.
"Kecurigaan kita jadi semakin besar terhadap praktik mafia kuota impor di Kemenperin ini,” pungkasnya.
Sementara itu, menanggapi kisruh tuduhan adanya mafia kuota impor tekstil, Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Kahmi) Rayon Tekstil, Agus Riyanto juga buka suara. Pihaknya mengaku telah menerima salinan surat dari Asosiasi Pengusaha Sandang Indonesia kepada Menteri Perindustrian yang berisi dugaan pungli oleh oknum ASN terkait penerbitan Pertimbangan Teknis (Pertek). Selain itu, pihaknya juga menerima dua salinan surat dari APSyFI yang ditujukan kepada Menteri Perindustrian mengenai permintaan transparansi dalam pemberian kuota impor.
Agus menuturkan Kahmi Rayon Tekstil sudah menyampaikan surat secara langsung kepada menperin terkait hal tersebut. Namun, menurutnya, menteri tersebut tidak merespons aduan itu secara formal hingga akhirnya masalah ini mencuat di media.
"Kami kira pak Menteri (Agus Gumiwang) abai dan tidak menanggapi aduan secara formal sampai masalah ini mencuat di publik,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Agus menduga jaringan mafia impor tersebut sudah berbentuk sindikat yang mendapat dukungan dari oknum birokrat. Ia pun meminta Presiden Prabowo segera turun tangan mengamankan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional, serta melindungi masyarakat dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat dugaan praktik mafia impor.
“Kami menduga jaringan mafia ini sudah menjadi sindikat yang punya dukungan kuat dari oknum birokrat, ini penyakit yang terus menerus melemahkan industri. Kami memohon presiden segera turun tangan menyelamatkan industri TPT kita," ucapnya. (E-3)