Langkah pemerintah membuka keran ekspor pasir laut dinilai akan membuat Indonesia kehilangan produk domestik bruto (PDB) Rp 1,22 triliun hingga adanya 34 ribu tenaga kerja kehilangan pekerjaan.
Hal ini berdasarkan pada studi yang dilakukan lembaga penelitian ekonomi dan kebijakan publik, Center of Economic and Law Studies (Celios).
Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, menuturkan meskipun ekspor pasir laut dipandang bisa memuat negara meraup cuan, tetapi menurut dia potensi keuntungan bagi negara terbilang kecil.
“Simulasi yang dilakukan menemukan dampak negatif pada PDB sebesar Rp 1,22 triliun, dan pendapatan masyarakat akan menurun hingga Rp 1,21 triliun,” kata Nailul dalam keterangannya, Rabu (2/10).
Nailul menerangkan, studi yang dilakukan oleh Celios menemukan adanya klaim berlebihan dari pemerintah tentang peningkatan keuntungan dari ekspor pasir laut.
Sebab, dalam studi ini ditemukan pendapatan negara estimasinya hanya bertambah Rp 170 miliar jika menghitung dampak tidak langsung ke sektor lapangan usaha secara keseluruhan. Kemudian pengusaha ekspor pasir laut mendapat keuntungan sebesar Rp 502 miliar.
Akan tetapi, angka-angka tersebut harus dibayar oleh kerugian yang dialami oleh pengusaha di bidang perikanan. Ini berkaitan dengan kehancuran ekosistem laut, tingginya erosi pantai, rusaknya terumbu karang, dan hilangnya biodiversitas laut akibat kebijakan ini.
Selain itu, masyarakat pesisir, terutama nelayan, juga terancam kehilangan mata pencaharian akibat rusaknya habitat perikanan tangkap, sehingga produksi akan menurun.
Sehingga, lanjut Nailul, sejumlah 2,7 juta m3, ada penurunan nilai tambah bruto sektor perikanan yang ditaksir mencapai Rp 1,59 triliun. Ditaksir pendapatan nelayan yang hilang Rp 990 miliar.
36.400 Tenaga Kerja Sektor Perikanan Kehilangan Pekerjaan
Kebijakan pada akhirnya ini dapat mengurangi lapangan pekerjaan di sektor perikanan untuk 36.400 tenaga kerja. Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira, menuturkan pada akhirnya kebijakan ini akan membuat tingginya angka pengangguran di kawasan pesisir.
“Ekspor pasir laut justru berisiko menciptakan pengangguran di kawasan pesisir. Model penambangan pasir laut dengan kapal isap dan pengangkutan tongkang juga cenderung padat modal bukan padat karya. Tidak ada korelasi ekspor pasir laut dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berdaya saing,” terang Bhima.
Selain itu, Bhima menyebut penambangan pasir laut juga berdampak pada kerusakan habitat laut yang sulit untuk diperbaiki dalam jangka panjang. Hal ini akan mengganggu agenda keberlanjutan Indonesia, yaitu hilangnya potensi blue carbon dan ekosistem ekonomi biru jika eksploitasi pasir laut dilanjutkan.
“Padahal diperkirakan Indonesia memiliki potensi 17 persen karbon biru dari total seluruh dunia, setara 3,4 giga ton. Hal ini selaras dengan target pemerintahan ke depan yang ingin mengoptimalkan kredit karbon USD 65 miliar atau Rp 994,5 triliun.” tutup Bhima.
Dalam hal ini, Celios mengusulkan empat rekomendasi bagi pemerintah, meliputi: