Indonesia Deflasi 5 Bulan Beruntun, Daya Beli Runtuh?

4 days ago 6
ARTICLE AD BOX
Penjual menunjukkan stok cabai dagangannya di Pasar Palima Palembang,Sumsel. Foto: ANTARA FOTO/Feny Selly

sosmed-whatsapp-green

kumparan Hadir di WhatsApp Channel

Indonesia mencatat deflasi selama lima bulan berturut-turut pada tahun 2024. Sebuah fenomena yang mengingatkan pada kondisi ekonomi pasca krisis finansial Asia 1998.

Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, mengatakan Indonesia pernah mengalami deflasi berkepanjangan setelah krisis 1998. Deflasi tercatat selama tujuh bulan berturut-turut, dari Maret hingga September 1999.

"Pada 1999, setelah inflasi melonjak akibat depresiasi tajam rupiah, harga-harga barang kembali turun dan menyesuaikan diri ke titik keseimbangan, yang menyebabkan deflasi selama tujuh bulan berturut-turut," kata Amalia dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Selasa (1/10).

Periode deflasi juga pernah terjadi pada Desember 2008 hingga Januari 2009 akibat penurunan harga minyak dunia. Serta pada Juli hingga September 2020, saat pandemi COVID-19 berdampak pada penurunan harga berbagai komoditas.

Dalam konteks tahun 2024, Amalia mengungkapkan, deflasi lima bulan ini masih didorong oleh faktor penurunan harga, terutama dari sisi penawaran atau supply side.

Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jumat (15/3). Foto: Dok. Plt. Kepala BPS

Amalia menjelaskan deflasi tahun ini didorong oleh penurunan harga sejumlah komoditas pangan. "Deflasi terjadi karena adanya harga yang turun, terutama untuk produk tanaman pangan dan hortikultura seperti cabai merah, cabai rawit, daun bawang, kentang, dan wortel," jelasnya.

Selain itu, produk peternakan seperti telur ayam ras dan daging ayam ras yang sempat mengalami kenaikan harga pada bulan-bulan sebelumnya kini kembali menurun karena stabilisasi pasokan. Amalia menjelaskan, turunnya biaya produksi juga mempengaruhi harga di tingkat konsumen.

"Deflasi yang kita lihat saat ini tercermin melalui Indeks Harga Konsumen (IHK), di mana harga-harga turun seiring dengan meningkatnya pasokan komoditas, terutama pada masa panen," kata dia.

Meskipun deflasi seringkali dikaitkan dengan penurunan daya beli masyarakat, Amalia menekankan bahwa tidak ada kesimpulan pasti yang bisa diambil hanya berdasarkan angka inflasi atau deflasi.

"Untuk menghubungkan fenomena deflasi dengan penurunan daya beli, kita perlu melakukan kajian lebih mendalam. Penurunan harga yang terjadi saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor penawaran," tutur dia.

Menurut Amalia, inflasi mencatat harga yang diterima konsumen, dan harga ini bisa turun bukan hanya karena daya beli menurun, melainkan karena peningkatan pasokan dan turunnya biaya produksi.

Pedagang mengangkat dagangannya di Pasar Induk, Kramat Jati, Jakarta, Kamis (1/9/2022). Foto: Asprilla Dwi Adha/Antara Foto

"Jika harga turun karena melimpahnya pasokan atau stabilisasi harga oleh pemerintah, maka hal itu tidak langsung mencerminkan penurunan daya beli," jelasnya.

Untuk memastikan apakah deflasi ini memang merupakan indikasi penurunan daya beli, perlu dilakukan analisis yang lebih komprehensif.

"Ini perlu studi lebih lanjut karena dibutuhkan ada penurunan daya beli, harus melihat berbagai aspek tidak hanya inflasi," pungkasnya.

Read Entire Article