Konstitusi Mati Suri

1 month ago 18
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Konstitusi Mati Suri Ono Sarwono Penyuka Wayang(MI/Ebet)

MUSIM rendeng (penghujan) lagi puncak-puncaknya di akhir Desember. Hujan dan gerimis tiada habisnya sepanjang hari. Hawa jadi dingin dan bisa membuat siapa saja terlena bermalas-malasan dan nglaras (bersantai) lepas dari aktivitas.

Pada sore itu, Limbuk duduk-duduk di atas lincak bertikar pandan di teras pondok tak jauh dari baluarti dalam kompleks Istana Amarta. Pipinya memerah, raut muka cemberut dengan jemari yang tiada henti mengusap-usap layar ponsel pintar.

Sepertinya Limbuk merasakan sesuatu yang tidak menggembirakan dari berita atau konten-konten yang dilihat dan dibaca. Suasana hati tampak terselimuti kegelisahan. Tiada kata terucap kecuali hanya bibir tebalnya mengatup kencang.

Muncul Cangik dari pintu tengah dan membersamai anaknya semata wayang yang kini telah dewasa. Setiap menjelang hari berganti malam, wanita paruh baya itu biasa bersantai di teras sambil menikmati wedang sereh dengan jeruk nipis peras.

Saat itu Cangik merasa mendapati Limbuk tak seperti biasanya yang selalu ceria manakala ‘bermain’ ponsel. “Ada apa Nduk (genduk). Kelihatan susah?”

Belum sempat Limbuk menjawab, mendadak terdengar ‘gedebak-gedebuk’. Tidak ada yang kaget, mereka tahu itu suara duren jatuh. Ada dua pohon duren besar di belakang rumah yang sedang berbuah, tapi tidak sebanyak tahun lalu.

Dengan bercaping lebar, Limbuk berhati-hati mengambil buah berduri tersebut. Ada dua buah dan beraroma harum. Selama ini Cangik dan Limbuk tak pernah mengunduhi buah yang disebut 'king fruititu, dibiarkan hingga jatuh sendiri.

Mereka kemudian kembali ke teras. Gerimis masih belum berhenti, tetapu sudah sedikit berkurang intensitasnya. Sejumlah ayam piaraan yang semula berkeliaran berjinjit-jinjit beriringan masuk kandang seperti tahu terang tiada datang.

“Mak, tadi tanya apa? kata Limbuk.

“Tadi kamu kelihatan murung saat bermain ponsel. Ada apa?”

Limbuk menjelaskan dirinya larut atas reaksi berbagai kalangan masyarakat yang mengkritisi rencana pasti penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% terhadap sejumlah barang dan jasa. Penaikan itu berlaku mulai awal tahun depan.

“Jelasnya bagaimana, <i>Nduk?” desak Cangik yang mengaku bodoh dan tidak mengerti kabar tersebut.

Menurut Limbuk, sejauh yang dipahami, penaikan pajak itu untuk barang dan jasa kelas premium, artinya kategori mewah. Namun, banyak orang pintar mengkritisi bahwa pada akhirnya muara penaikan pajak itu nanti juga berimbas kepada rakyat kecil.

“Penaikan pajak itu untuk apa, sih, Nduk? Perasaanku, pajak apa saja, kok, bertambah.”

Mengutip pernyataan pemerintah, kata Limbuk, penaikan itu guna menjaga keseimbangan fiskal. Intinya pemerintah butuh tambahan anggaran untuk mendukung program-program pembangunan seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

“Singkatnya, ini katanya, lo, Mak, penaikan pajak itu untuk kesejahteraan rakyat."

Cangik terdiam sejenak mendengar kata-kata tersebut. Dirinya melihat di sana-sini masih begitu banyak rakyat yang melarat. Dalam batinnya ada pertanyaan, di mana korelasi aksi ‘kutip-kutip’ negara kepada warga dengan kesejahteraan rakyat.

Ia hanya bisa berdoa dan berharap kepada para pemimpin dan elite negara agar benar-benar serius memikirkan rakyat sesuai dengan perintah konstitusi, yakni memakmurkan dan menyejahterakan. Jangan justru sibuk melacurkan jabatan untuk memperkaya diri.

“Wa…Mak tahu konstitusi segala,” kata Limbuk tersenyum simpul.

Cangik tersipu mendengarnya. Ia mengaku teringat almarhum suami, Kinaryajapa, yang pada suatu hari pernah 'ngoceh' bahwa negara itu harus dijalankan berdasar konstitusi atau undang-undang dasar, yaitu segala ketentuan dan aturan ketatanegaraan.

Limbuk tampak berpikir. Kemudian lewat ponselnya ia mencermati teks UUD 45 yang merupakan konstitusi negara, khususnya BAB XIV tentang Kesejahteraaan Sosial yang terdiri atas dua pasal. “Iya, Mak, ini ada pasalnya,” kata Limbuk.

“Tolong dibaca Nduk, Mak mau dengar.”

Dengan lantang, Limbuk membaca Pasal 33 ayat 1: perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ayat 2: cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Sejenak Limbuk menghela na0as, lalu melanjutkan membaca ayat 3: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

“Pasal berikutnya, 34, bunyinya bagaimana?” tanya Cangik.

“Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara.”

Cangik mengatakan, apakah aturan baku bernegara itu sudah dijalankan dengan baik oleh penyelenggara negara yang mendapat amanah rakyat? Apakah kekayaan alam sudah benar-benar untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat?

Menurutnya, fakta banyak kekayaan alam tidak dikuasai negara, tapi dimanfaatkan dan dikapitalisasi oleh elite-elite tertentu untuk kemakmuran mereka. “Jangan-jangan, apa karena para penyelenggara negara tidak ngeh (sadar) konstitusi, ya?”

“Tak menyangka Mak begitu kritis.”

“Terus Pasal 24 itu tadi, <i>Nduk. Apakah negara juga sudah melaksanakan dengan sebaik-baiknya?”

Kepala Limbuk mendongak ke atas. Terlukis dalam benaknya banyak fakir miskin dan anak-anak telantar yang tidak mendapat perhatian negara. Itu baru pasal-pasal kesejahteraan sosial, masih ada pasal lain yang terlupakan atau terabaikan.

Seperti, misalnya Pasal 32, yang pada intinya mengharuskan negara memajukan kebudayaan nasional. "Semoga dengan adanya Kementerian Kebudayaan dalam pemerintahaan saat ini!akan menjadi jawabannya,” batinnya.

“Dengan kenyataan seperti itu, menurutmu bagaimana, Nduk?” tanya Cangik mengagetkan lamunannya.

“Rasa-rasanya konstitusi negara mati suri, Mak!”

Tiba-tiba terdengar lantunan panggilan ibadah tanda hari merayap gelap. Cangik dan Limbuk berbenah bersiap melaksanakan kewajiban sebagai umat-Nya. Lampu-lampu bersinar temaram di tengah rintik hujan yang belum lelah membasahi bumi. (M-2)

Read Entire Article