Perdana Menteri Nepal akhirnya mengundurkan diri setelah gelombang protes besar-besaran mengguncang Kathmandu. Keputusan ini bukan sekadar hasil spontan, melainkan puncak dari kekecewaan rakyat yang menumpuk bertahun-tahun. Larangan pemerintah terhadap media sosial hanya menjadi percikan terakhir yang memicu ledakan kemarahan publik.
Fenomena ini menunjukkan betapa rapuhnya legitimasi kekuasaan ketika pemimpin tidak peka terhadap aspirasi rakyat. Korupsi yang merajalela, gaya pemerintahan yang otoriter, dan kesulitan ekonomi yang menekan kehidupan sehari-hari menciptakan jurang ketidakpercayaan. Begitu muncul kebijakan kontroversial, massa segera menjadikannya simbol perlawanan.
Jika ditelusuri, pola ini tidak hanya terjadi di Nepal. Empat tahun terakhir, Asia Selatan berulang kali diguncang protes rakyat yang berujung pada tumbangnya penguasa. Pada 2022, Sri Lanka menyaksikan presiden jatuh setelah krisis pangan, bahan bakar, dan obat-obatan yang melumpuhkan kehidupan rakyat.
Dua tahun kemudian, Bangladesh mengalami gelombang serupa. Mahasiswa dan generasi muda memimpin aksi menentang represi politik dan korupsi yang mencekik. Akhirnya, pemerintah yang berkuasa lama harus menyerah pada "tekanan jalanan".
Nepal kini menjadi negara ketiga dalam pola beruntun ini. Masyarakatnya tidak lagi diam ketika hak-hak dasar dibatasi. Larangan media sosial tidak hanya dianggap pembatasan akses informasi, tetapi juga simbol pengendalian suara publik. Ketika suara dibungkam, teriakan di jalanan justru semakin keras.
Fenomena ini memperlihatkan wajah demokrasi yang hidup meskipun penuh gejolak. Rakyat menolak diperlakukan hanya sebagai penonton: mereka menuntut ruang partisipasi. Korupsi dan kesewenang-wenangan birokrasi tidak lagi bisa ditutup-tutupi dengan retorika pembangunan semu.
Sebagaimana dicatat dalam The Washington Post, 10 September 2025, berjudul “4 years, 3 protest movements: How public fury toppled leaders in Nepal, Sri Lanka and Bangladesh” oleh Sheikh Saaliq (AP), tiga peristiwa ini menunjukkan pola yang sama: ketidakpuasan rakyat akibat korupsi, pemerintahan yang otoriter, dan kesulitan ekonomi, yang kemudian disulut oleh keputusan politik kontroversial. Analisis ini relevan dengan pandangan Alexis de Tocqueville dalam teorinya mengenai demokrasi yang menjelaskan bahwa stabilitas politik hanya dapat tercapai jika pemerintah menghormati aspirasi rakyat dan membuka ruang kebebasan sipil.
Dalam perspektif aspirasi rakyat, kejatuhan tiga rezim ini adalah manifestasi bahwa masyarakat tidak lagi ingin diperintah dengan tangan besi. Demokrasi yang sehat bukan hanya soal prosedur pemilu, melainkan juga bagaimana suara rakyat dijadikan rujukan utama dalam kebijakan publik.
Dari kacamata teori, Tocqueville mengingatkan bahwa demokrasi akan gagal jika pemerintah mengabaikan keadilan sosial. Rakyat akan mencari jalannya sendiri untuk menegakkan aspirasi, termasuk lewat aksi protes. Pola itu nyata terlihat di jalanan Kolombo, Dhaka, hingga Kathmandu.
Implikasi bagi kehidupan rakyat di masa depan cukup signifikan. Jika pemerintahan baru di Nepal maupun negara-negara lain di kawasan itu mampu mengambil pelajaran, maka kebijakan yang lebih inklusif dan transparan bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, jika pola lama diulang, ketidakpuasan serupa bisa kembali meletus.
Pelajaran penting yang dapat ditarik adalah perlunya tata kelola negara yang responsif dan akuntabel. Pemimpin tidak bisa lagi mengandalkan kekuasaan formal belaka. Legitimasi sejati lahir dari kepercayaan rakyat yang merasa haknya dihargai.
Selain itu, krisis di tiga negara ini menegaskan bahwa generasi muda, khususnya Gen Z, kini menjadi motor utama perubahan politik. Mereka lebih peka terhadap isu kebebasan, lebih cepat marah terhadap ketidakadilan, dan lebih berani melawan status quo.
Maka, tata kelola negara yang appropriate harus menempatkan rakyat sebagai pusat. Transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak sipil menjadi kunci. Tanpa itu, gelombang protes tidak hanya mungkin, tetapi juga hampir pasti kembali muncul.
Akhirnya, kisah Nepal, Sri Lanka, dan Bangladesh memperingatkan dunia bahwa suara rakyat adalah kekuatan yang tak bisa dipadamkan. Sejarah empat tahun terakhir di Asia Selatan adalah bukti hidup bahwa demokrasi selalu menemukan jalannya meskipun harus melalui jalan berliku penuh gejolak.