Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan pertumbuhan ekonomi terindikasi mengalami penurunan di mayoritas negara utama.
Di Amerika Serikat, The Fed menurunkan outlook pertumbuhan ekonomi di 2024 diikuti kenaikan level pengangguran dan penurunan inflasi. Sementara di China, perekonomian kehilangan momentum pemulihannya setelah sisi produksi yang selama ini menopang pertumbuhan mulai menghadapi tekanan.
"Hal ini terlihat dari aktivitas manufaktur yang melambat sehingga mendorong tingkat pengangguran naik ke level tertinggi dalam enam bulan terakhir, serta tingkat pengangguran muda meningkat," kata Mahendra dalam konferensi pers hasil RDK OJK, Selasa (1/10).
Selain itu, tekanan perekonomian Eropa juga semakin dalam terlihat dari penurunan outlook pertumbuhan dan proyeksi inflasi yang meningkat.
Menurut Mahendra, perkembangan tersebut mendorong bank sentral global memulai siklus penurunan suku bunga yang cukup agresif.
"The Fed menurunkan Fed Funds Rate sebesar 50 bps, yang secara historis pernah dilakukan pada saat global financial crisis 2008 dan pandemi 2020. Di Tiongkok, PBoC cukup agresif dalam mendukung perekonomian dengan menurunkan suku bunga kebijakannya," ujarnya.
Gubernur PBoC berjanji akan mengambil kebijakan akomodatif lanjutan seperti menurunkan GWM 50 bps untuk meningkatkan likuiditas perbankan, penurunan uang muka pembelian rumah, serta memperpanjang dukungan ke sektor properti selama 2 tahun.
Selain itu, kebijakan fiskal di Tiongkok juga akomodatif. Di Eropa, ECB dan Bank of England juga telah memulai siklus penurunan suku bunga.
"Kebijakan moneter global yang akomodatif tersebut mendorong kenaikan likuiditas di pasar keuangan, tercermin dari penguatan pasar keuangan global di mayoritas negara. Aliran modal cukup besar ke pasar keuangan emerging market mulai terjadi, termasuk ke pasar keuangan Indonesia," kata Mahendra.