ARTICLE AD BOX
KEMENTERIAN Kesehatan telah memberikan pernyataan terkait penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang minim partisipasi publik. Kemenkes mengamini semua masukan tidak dapat diakomodir.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi menyatakan bahwa perbedaan pendapat bukan berarti semua masukan mengenai pengaturan tembakau dapat diterima oleh Kemenkes. Meski ia menyatakan telah menjalankan proses partisipasi publik, nyatanya kedua aturan Kemenkes tersebut terus menerus menuai protes luas dari berbagai pihak.
“Kita bisa berbeda pendapat, tapi bukan berarti seluruh masukan harus diterima kan?,” ungkapnya dalam acara Hotroom bertajuk Aturan Baru Tembakau, Bikin Kacau? baru-baru ini.
Baca juga : Cukai Rokok Batal Dinaikkan, Koalisi: Langkah Mundur Perlindungan Kesehatan Publik
Dia pun menjelaskan bahwa penggunaan logo dalam kemasan rokok masih diperbolehkan, termasuk kewajiban untuk menyematkan peringatan dan informasi kesehatan. Di kesempatan lain Nadia menyatakan branding tidak diperbolehkan. Pernyataan bertolak belakang ini kontradiktif, terutama terlihat dalam Rancangan Permenkes yang memuat ketentuan kemasan rokok polos tanpa merek.
Pada Rancangan Permenkes yang diunggah di situs resmi Kementerian Kesehatan, bagian Pencantuman Informasi pada Kemasan pasal 15 ayat (3) menyatakan, ‘Merek produk diletakkan di bawah Peringatan Kesehatan pada sisi depan atau belakang kemasan.
Sementara pada pasal 5 ayat (1) poin g disebutkan bahwa ‘kemasan produk tembakau dilarang menambahkan gambar dan atau tulisan dalam bentuk apapun selain yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri ini’. Hal tersebut berbeda dengan pernyataan Siti Nadia dalam diskusi.
Baca juga : Pemerintah Belum Serius Naikkan Cukai Rokok
“Nama dan logo produk masih bisa. Tapi memang peringatan, informasi, gambar mengenai dampak dari merokok memang ada. Branding-nya nggak boleh. Untuk warna kita standardisasi, termasuk rokok elektronik,” tuturnya.
Tidak sampai di situ, perbedaan antara pernyataan Siti dengan draft RPMK juga terlihat pada pengaturan nama merek. Pada Pasal 5 ayat (1) poin e dijelaskan bahwa ‘penulisan merek dan varian produk tembakau menggunakan Bahasa Indonesia’ sedangkan pada poin f dinyatakan ‘penulisan identitas produsen menggunakan Bahasa Indonesia.
Dalam diskusi, Siti mengatakan tidak ada standardisasi terkait nama atau penulisan merek rokok. “Kalau nama merek rokok itu tidak kita lakukan standardisasi. Bahasa Indonesia hanya untuk peringatan, lalu informasi. Untuk nama merek sesuai dengan mereknya,” paparnya.
Baca juga : Lindungi Rakyat dari Bahaya Kesehatan Asap Rokok
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Daulay menyoroti pentingnya keterlibatan semua pihak dalam penyusunan regulasi. Dia menegaskan setiap kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan semua masukan stakeholder, termasuk asosiasi industri dan pihak terdampak lainnya.
“Regulasi ini bermula dari aturan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang mengalami penundaan lama karena kami ingin memastikan bahwa semua pihak, baik pengusaha maupun pihak lain, tidak merasa dirugikan,” ujarnya.
Ia pun menekankan bahwa penting untuk mendengarkan aspirasi dari berbagai pihak sebelum merumuskan kebijakan yang bersifat mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. “Karena itu, kalau mau membuat peraturan libatkan semua pihak. Kami minta jangan egois,” tegas Daulay.
Baca juga : CISDI Sebut Potensi Cukai Rokok Bisa Dinaikkan Hingga 45%
Saleh Daulay juga mengungkapkan bahwa dalam pembuatan detail regulasi, Kemenkes lebih memilih menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) ketimbang Undang-Undang (UU). Padahal jika diatur detail UU, DPR dapat mengajak semua pihak terdampak untuk terlibat dalam penyusunan regulasi. Beda halnya dengan PP yang penyusunannya tidak melibatkan parlemen.
Imbasnya, kata dia, PP 28/2024 maupun RPMK menjadi sumber sengketa saat ini. Padahal seyogyanya, legislator tidak ingin mengabaikan aspek kesehatan, namun juga tidak ingin mengabaikan aspek ekonomi.
Selain itu, ia menggarisbawahi bahwa Kemenkes bukanlah satu-satunya kementerian yang terlibat dalam pengaturan tembakau. Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) juga harus dilibatkan dalam proses penyusunan regulasi ini.
“Saya menanyakan apakah semua stakeholder sudah dilibatkan dalam penyusunan aturan ini? Jika tidak, akan ada masalah dan pihak-pihak tertentu akan merasa ditinggalkan,” katanya.
Lebih lanjut, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi menegaskan bahwa pemerintah harus melihat kritik dari kalangan masyarakat sebagai hal penting. Apalagi, kritik ini semakin mengemuka karena sebelum PP tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), tidak ada koordinasi yang baik dengan beberapa kementerian terkait.
“Kemenkes terkesan membuat keputusan sepihak, dan ini sangat disesalkan oleh kami,” imbuhnya.
Benny pun menegaskan, meskipun pihaknya sepakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, pendekatan yang diambil oleh Kemenkes tidak bisa hanya melibatkan aspek kesehatan atau industri saja. “Kita perlu duduk bersama untuk membahas isu ini secara komprehensif,” tambahnya.
Dari sudut pandang industri, beberapa pasal dalam PP 28/2024 dinilai perlu ditinjau ulang. Selain itu, Benny juga menyarankan agar proses penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebaiknya dihentikan sementara sampai ada pejabat menteri yang baru.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang hingga kini sama sekali tidak melibatkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
“Kemenperin saja belum diajak bicara mengenai kebijakan ini. Ini menunjukkan kurangnya kolaborasi antara kementerian yang seharusnya terlibat dalam pembuatan kebijakan yang kompleks ini,” ungkapnya.
Kritik terhadap PP 28/2024 ini menunjukkan perlunya dialog yang lebih terbuka dan inklusif antara pemerintah dan semua stakeholder. Sebuah kebijakan yang adil dan seimbang harus mempertimbangkan kepentingan kesehatan masyarakat sekaligus mendukung keberlangsungan industri.
Penting bagi semua pihak untuk memahami bahwa regulasi yang baik adalah yang dapat diterima dan dipatuhi oleh semua elemen masyarakat. Dengan demikian, kolaborasi dan komunikasi yang baik harus menjadi prioritas dalam penyusunan kebijakan yang berhubungan dengan kemaslahatan hidup jutaan masyarakat Indonesia. (H-2)