Refleksi atas Gugatan UU Penyandang Disabilitas

3 weeks ago 7
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Refleksi atas Gugatan UU Penyandang Disabilitas (Dokpri)

RAISSA Fatikha dan Deanda Dewindaru, dua anak muda penyintas penyakit kronis menggugat UU Penyandang Disabilitas ke Mahkamah Konstitusi. Mereka merasa dirugikan secara konstitusional karena tidak adanya pengakuan eksplisit terhadap penyakit kronis dalam UU No. 8/2016. Berita ini termuat pada link Mahkamah Konstitusi (Penyandang Penyakit Kronis Minta Pengakuan sebagai Disabilitas - Berita Mahkamah Konstitusi RI).

Salah seorang pengugat menceritakan, penyakit kronis dialami sejak tahun 2015, ia merasakani tangan, pundak dan kaki nyeri, disertai  kelelahan pada tubuh, akibatnya ia tidak bisa menggunakan tangan untuk menulis. Ia juga mengaku mendapat perlakuan diskriminatif dalam mengakses pelayanan publik. 

Menurutnya, gangguan fungsi tubuh yang dialaminya itu adalah kondisi disabilitas, karena mencakup keterbatasan fungsi tubuh jangka waktu lama. Hambatan berpartisipasi penuh dan efektif, sebagaimana unsur-unsur yang tercakup dalam pengertian penyandang disabilitas pada Pasal 1 Undang-Undang No.8 Tahun 2016.

Siapa penyandang disabilitas

UU No.8/2016 hadir sebagai tindak lanjut Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (UN-CRPD) di Indonesia tahun 2011 lalu. UU ini dimaksudkan untuk memajukan, melindungi, dan menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang disabilitas, serta penghormatan terhadap keberagaman manusia dan martabat penyandang disabilitas sebagai bagian yang tidak terpisahkan.

UU No. 8 Tahun 2016, menandai perubahan paradigma penanganan penyandang disabilitas dari fokus penanganan medis ke penanganan integratif  berbasis hak asasi. Hambatan dalam beraktifitas tidak semata  dipandang  akibat faktor medis, namun menyangkut aspek yang lebih luas di luar anatomi manusia. Keterbatasan atau kerusakan anatomi tubuh yang bersifat menetap, tidak lantas dianggap sebagai aib atau cacat, karena yang terganggu atau rusak adalah fungsonalnya, bukan martabatnya sebagai manusia. 

Kondisi disabilitas menurut UU No. 8/2016 ditandai adanya hambatan aktivitas dan berpartisipasi atas dasar hak, yang disebabkan ada interaksi gangguan anatomi yang menetap dengan faktor di luar medis, yaitu lingkungan dan bersifat kontekstual. Hal ini sejalan dengan konsep International Classification Functioning Disability and Health/ICF(WHO:2001). 

Kondisi kesehatan dan disabilitas menurut ICF konsep mencakup unsur fungsi dan struktur tubuh, aktivitas yang melekat tugas individu sehari-hari, seperti berganti baju, makan,mandi. Unsur lainnya adalah partisipasi, yang menandai keterlibatan seseorang dalam kehidupan masyarakat. Unsur lainnya adalah lingkungan seperti fisik bangunan, sikap masyarakat, dan teknologi. Ditambah faktor personal yang terkait aspek psikologis. 

Kondisi disabilitas dikatakan bersifat kontekstual, karena hambatan beraktivitas dan berpartisipasi dipengaruhi kondisi lingkungan dan personal faktor. Misalnya, seorang penderita penyakit kronis diabetes melitus (DM), karena perawatan yang kurang baik, terjadi luka dan membusuk, hingga kakinya diamputasi. Akibat amputasi ,ia kehilangan fungsi gerak kakinya itu, tidak lagi dapat berjalan. Gangguan gerak kaki akibat penyakit DMnya itu dapat menimbulkan kondisi disabilitas. Bukan diagnosa penyakit yang menimbulkan disabilitas. 

Maka, tidak tepat jika penyakit kronis dianggap sebagai ragam disabilitas. Tetapi, penderita penyakit kronis dapat menjadi penyandang disabilitas. Tidak semua penyakit DM berdampak pada gangguan gerak, bisa juga mengenai sensorik penglihatan, (mata), yang menimbulkan hilangnya penglihatan seseorang. 

Selain itu, karena kondisi disabilitas  bersifat kontekstual, bisa jadi penyandang disabilitas fisik amputasi kaki, tidak mengalami hambatan dalam beraktifitas karena fungsi gerak kaki yang sudah diamputasi digantikan dengan kaki buatan.

Kondisi disabilitas merupakan fenomena yang kompleks,tidak mudah untuk menjelaskan keterbatasan fungsional dari  gangguan anatomi tubuh seseorang, yang beririsan dengan faktor lingkungan (kontekstual). Penyintas penyakit kronis banyak ragamnya  dan berpotensi kuat menjadi penyandang disabilitas. Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 yang dirilis Kementerian Kesehatan tahun 2024 menyebutkan bahwa 59% penyandang disabilitas adalah juga mengalami penyakit kronis.(BKPK:2024). 

Untuk pelayanan penyintas penyakit kronis dan penyandang disabilitas, diperlukan assesment sebagai alat ukur untuk mengetahui kondisi disabilitas seseorang, baik ragam maupun tingkat keparahan dari hambatan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini, juga sudah  disebutkan dalam UU No.8/2016, Pasal 4, Ayat 2, yaitu “Ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialami secara tunggal, ganda, atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. 

Tenaga  medis melakukan penilaian gangguan fungsi dan struktur anatomi  tubuh yang berdampak  pada kemampuan dan hambatan  dalam melakukan aktivitas sehari-hari dengan mempertimbangkan aspek biopsikososial. Sayangnya, hingga saat ini di Indonesia belum ada Instrumen penilaian disabilitas yang berlaku secara nasional.  Akibatnya terjadi multi tafsir tentang kondisi dan ragam serta keparahan disabilitas. Terutama, yang ditimbulkan awalnya dari penyakit atau gangguan medis. Salah satu contohnya adalah Formulir Pendaftaran Beasiswa LPDP Jalur Disabilitas yang diungkapkan penggugat. Ragam disabilitas, ditafsirkan hanya sebatas contoh yang tertulis dalam penjelasan UU No. 8/2016.

Perlu instrumen penilaian

Menurut penulis, gugatan perlunya memasukan penyakit kronis sebagai ragam disabilitas pada UU Penyandang Disabilitas tidak diperlukan. Penyintas penyakit kronis dalam kondisi tertentu sudah termasuk kategori penyandang disabilitas yang disebutkan dalam UU No.8/2016. Persoalan yang dikemukakan kedua penyintas penyakit kronis tersebut terkait bagaimana pelayanan publik mengakomodasi kebutuhan penduduk penyintas penyakit kronis yang berpotensi menyandang disabilitas, atau penyandang disabilitas yang mengalami penyakit kronis.

Sudah saatnya, Indonesia memiliki instrumen penilaian disabilitas dan kesehatan yang mencakup unsur medis, lingkungan serta personal faktor (biopsikososial) berdasarkan UN-CRPD dan ICF konsep. Instrumen penilaian yang terintegrasi dalam data perlindungan dan jaminan sosial, yang dikelola secara bersama antarinstansi di pusat dan daerah, baik untuk sasaran individu yang bersifat klinis, bantuan sosial, ataupun terintegrasi ke dalam data populasi untuk perencanaan layanan secara nasional. 

Instrumen penilaian berbasiskan gangguan fungsional,bukan diagnosis penyakit, mencakup penilaian komponen sebagai berikut : struktur dan anatomi tubuh, aktifitas harian, partisipasi dan lingkungan, psikologikal faktor (dukungan dan hambatan), yang dapat dimanfaatkan secara universal dan kontekstual.

Read Entire Article