RS Pemerintah: Pelayan Rakyat atau Korporasi Baru?

6 hours ago 7
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
 Pelayan Rakyat atau Korporasi Baru? (MI/Seno)

KEDOKTERAN, sejak awal kelahirannya, berdiri di atas prinsip kemanusiaan. Profesi ini tidak pernah dimaknai sebagai aktivitas jual-beli atau bisnis mencari untung, tetapi panggilan untuk menolong sesama. Ketika seorang dokter mulai praktik, ia berdiri di hadapan pasien sebagai pribadi yang memegang amanah, bukan sebagai pedagang yang menimbang untung dan rugi.

Karena itu, dokter wajib menjaga kompetensinya, memperbarui ilmu dan keterampilannya--semata-mata demi keselamatan pasien. Hubungan dokter-pasien pun bersifat unik: sebuah hubungan yang dibangun oleh ilmu pengetahuan, kesetiaan pada etika, dan kepercayaan.

Sebelum menjalankan profesi, setiap dokter bersumpah--Sumpah Dokter--yang menjadi fondasi moral bagi seluruh tindakannya. Dalam sumpah itu tercantum komitmen untuk menjunjung etika universal, menjalankan praktik dengan integritas, dan menempatkan kepentingan pasien sebagai prioritas tertinggi. Etika profesi berfungsi sebagai kompas: memastikan dokter tidak tergelincir memanfaatkan ketidaktahuan pasien untuk keuntungan pribadi. Semua prinsip etika itu dibuat untuk satu tujuan: melindungi masyarakat.

Di sisi lain, negara--melalui Kementerian Kesehatan--memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan setiap warga dapat menikmati layanan kesehatan. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin dan berhak atas layanan kesehatan.

Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 memerintahkan negara menyediakan fasilitas kesehatan yang layak. Undang-Undang 39/2009 mengulang dengan jelas: bahwa semua warga memiliki hak yang sama untuk mengakses pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, prinsip konstitusi dan prinsip etika profesi ini seperti ditumbangkan oleh kebijakan menteri kesehatan. Kebijakan-kebijakan yang dibuat justru memundurkan esensi pelayanan kesehatan dan menjadikan sektor ini sebagai arena bisnis yang mengutamakan keuntungan finansial, bukan pemenuhan hak rakyat.

DARI PELAYANAN PUBLIK MENJADI BUMN KESEHATAN

Rumah sakit yang berada di bawah Kementerian Kesehatan sejatinya ialah rumah sakit publik. Mereka berdiri dengan mandat melayani semua warga, terutama kelompok miskin yang tidak mampu membayar pelayanan kesehatan komersial. Sebagian besar pengguna layanan rumah sakit Kemenkes ialah peserta JKN kelas 3--lebih dari 190 juta orang.

Dengan populasi sebesar itu, peran rumah sakit publik sangat vital. Namun, faktanya, arah kebijakan Kemenkes justru berubah jauh dari mandat konstitusi. Dalam beberapa kesempatan publik, Menkes memberikan apresiasi kepada rumah sakit yang mampu menghasilkan pendapatan triliunan rupiah. Bahkan, ditetapkan target pemasukan yang besar bagi rumah sakit pusat nasional seolah-olah mereka ialah perusahaan milik negara yang wajib mengejar profit.

Perubahan itu bukan lagi sekadar salah langkah, melainkan sebuah bentuk privatisasi terselubung terhadap layanan publik. Layanan kesehatan ditempatkan sebagai komoditas. Pasien--terutama pasien miskin--tidak lagi dipandang sebagai warga negara yang harus dilindungi, tetapi sebagai 'sumber pemasukan'.

Indikasi paling jelas terlihat dari Surat Edaran (SE) Direktorat Tata Kelola Nakes yang menetapkan kriteria penilaian dokter spesialis berdasarkan besarnya pemasukan yang mereka bawa ke rumah sakit. Di dalamnya bahkan dicontohkan bahwa seorang dokter dapat menerima penghasilan tertentu apabila mampu menghasilkan ratusan juta rupiah pemasukan untuk rumah sakit dalam sebulan. Penilaian kinerja juga diukur dari frekuensi rujukan pemeriksaan penunjang dan tindakan dengan alat-alat medis canggih.

Padahal, menurut kaidah etika kedokteran, tindakan penunjang hanya boleh dilakukan apabila ada indikasi medis. Ketika insentif keuangan dijadikan patokan utama, muncul moral hazard: dokter didorong untuk melakukan lebih banyak pemeriksaan, bukan untuk memastikan diagnosis yang benar, melainkan demi meningkatkan pendapatan rumah sakit. Pada titik ini, etika profesi digeser oleh logika industri. Ketika rumah sakit publik diperlakukan seperti korporasi yang mengejar cuan, orang sakit berubah menjadi komoditas.

KETIDAKADILAN SISTEMIS: PASIEN MISKIN MAKIN TERSINGKIR

Salah satu prinsip dalam Sumpah Dokter ialah bahwa seorang dokter tidak boleh membedakan pasien berdasarkan status sosial atau kemampuan ekonomi. Namun, kebijakan Kemenkes justru menciptakan perlakuan berbeda berdasarkan kemampuan membayar.

Di banyak rumah sakit Kemenkes, layanan untuk pasien umum dan VIP jauh lebih longgar, lebih cepat, dan lebih fleksibel daripada pasien JKN. Salah satu contohnya ialah aturan operasional ruang bedah di sebuah rumah sakit pusat yang membatasi operasi pasien JKN hanya pada hari kerja dan jam kerja. Sebaliknya, pasien umum dapat dilayani 24 jam sehari.

Dengan ketersediaan tenaga dokter dan ruang perawatan yang terbatas, kebijakan tersebut secara langsung mengurangi akses pasien JKN terhadap layanan. Mengingat 70% peserta BPJS ialah kelas 3, yakni kelompok miskin dan rentan, kebijakan ini menciptakan ketidakadilan struktural yang sangat serius.

Akibatnya, waktu tunggu untuk rawat inap di rumah sakit publik menjadi ekstrem. Contohnya, di sebuah rumah sakit umum provinsi, antrean rawat inap mencapai lebih dari 2.200 pasien. Banyak dari mereka menunggu hingga 15 bulan sebelum mendapatkan perawatan. Dari ribuan pasien itu, hanya 50 orang yang bukan peserta JKN. Artinya, hampir seluruh pasien yang menunggu ialah kelompok miskin.

Akibat medical delay itu sangat tragis. Pasien yang awalnya berada pada stadium awal penyakit menjadi stadium lanjut saat mendapat giliran. Ada pula yang meninggal sebelum sempat menerima perawatan. Ini bukan lagi sekadar persoalan efisiensi layanan, ini sudah merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara.

Lebih ironis lagi, akses pasien miskin justru dipersempit oleh kebijakan yang memprioritaskan layanan bagi pasien yang mampu membayar. Padahal, rumah sakit publik seharusnya menjadi benteng terakhir bagi mereka yang tidak mampu mengakses layanan kesehatan komersial.

UHC BERGESER JADI PASAR ASURANSI

Universal health coverage (UHC) memiliki semangat dasar: semua orang berhak atas layanan kesehatan yang setara tanpa perbedaan berdasarkan kemampuan finansial. Namun, ketika Menkes mendorong keterlibatan asuransi swasta untuk layanan-layanan yang tidak ditanggung BPJS, maknanya jelas: negara ingin memindahkan tanggung jawabnya kepada swasta.

Skema ini akan menciptakan kesenjangan yang makin lebar antara mereka yang memiliki kemampuan membayar premi tambahan dan mereka yang tidak. UHC berubah dari jaminan solidaritas menjadi pasar asuransi yang mengutamakan keuntungan. Padahal, kesehatan bukan barang dagangan. Ini merupakan kewajiban negara. Mengalihkan tanggung jawab kepada swasta ialah pelanggaran terhadap prinsip konstitusional dan asas keadilan sosial.

SOLUSI RASIONAL

Agar layanan kesehatan bergerak kembali ke jalur yang benar--jalur etika, jalur konstitusi, dan jalur keadilan sosial--sejumlah solusi harus segera dilakukan. Pertama, hentikan komersialisasi layanan kesehatan publik. Rumah sakit Kemenkes harus kembali kepada mandat utamanya: pelayanan publik. Target pendapatan triliunan harus dicabut. Rumah sakit publik tidak boleh diukur dengan logika profitabilitas, tetapi dengan kualitas layanan, keselamatan pasien, dan pemerataan akses.

Kedua, cabut SE Tata Kelola Nakes yang menilai dokter dari pemasukan. Penilaian kinerja dokter harus dikembalikan pada standar kompetensi, mutu pelayanan, etika, dan keselamatan pasien, bukan jumlah pemeriksaan penunjang atau besarnya pendapatan yang dihasilkan.

Ketiga, semua rumah sakit publik wajib menerapkan standar akses yang sama untuk pasien JKN dan pasien umum. Tidak boleh ada perbedaan jam layanan bedah atau pembatasan tertentu hanya untuk peserta BPJS. Ini bentuk diskriminasi pelayanan dan bertentangan dengan hukum.

Keempat, perluasan kapasitas rawat inap dan operasi bagi peserta JKN. Tambahkan jumlah kamar operasi, tenaga spesialis, dan ruang perawatan khusus untuk pasien JKN agar antrean rawat inap yang sangat panjang dapat diatasi dalam jangka pendek.

Kelima, perkuat pendanaan kesehatan melalui APBN. Negara harus memenuhi kewajiban pendanaan UHC, bukan mendorong rakyat membeli asuransi tambahan. Sektor kesehatan harus diperlakukan sebagai investasi publik, bukan komoditas.

Selain itu, bangun kembali 'etos pelayanan' sebagai nilai inti kesehatan publik. Kemenkes harus menjadi lembaga yang menjamin hak rakyat atas kesehatan, bukan regulator yang mengelola bisnis kesehatan. Reformasi tata kelola harus mengutamakan integritas, e...

Read Entire Article