Setelah serangkaian serangan udara besar-besaran di Lebanon, Israel diprediksi akan memulai invasi darat ke selatan negara tersebut pada Selasa (1/10).
Pasukan Israel bertujuan mendorong Hizbullah melampaui Sungai Litani, sekitar 29 kilometer dari perbatasan Israel, guna memulangkan 60 ribu warga Israel yang mengungsi di utara.
Dalam serangan pekan lalu, Israel berhasil membunuh pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, beserta beberapa komandan senior.
Tragedi itu memberikan pukulan telak terhadap kelompok militan Syiah tersebut. Meski demikian, invasi ini memicu pertanyaan besar: Akankah upaya Israel kali ini berbeda dari konflik di Lebanon sebelumnya?
Dikutip dari Reuters, Israel pernah mencoba hal serupa sejak 40 tahun lalu, tepatnya pada 1982. Saat itu mereka menginvasi hingga ke Beirut untuk menghancurkan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Mereka berusaha memadamkan perlawanan Palestina terhadap pendudukan Israel di Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur yang telah ada sejak Perang Israel-Arab pada 1967.
Meskipun Israel berhasil memindahkan PLO dari Lebanon, munculnya Hizbullah atas dukungan Iran justru memperumit situasi.
Masuk ke tahun 2000, korban Israel terus meningkat. Perdana Menteri saat itu, Ehud Barak, melakukan penarikan pasukan secara sepihak.
Hal itu memperkuat popularitas Hizbullah sebagai kekuatan politik dan paramiliter yang tangguh melawan Israel dan sekutunya.
Israel dipaksa mundur di bawah tekanan perlawanan Hizbullah.
Enam tahun kemudian (2006), Israel kembali menginvasi Lebanon dengan tujuan menghancurkan Hizbullah.
Namun, lagi-lagi Israel gagal mencapai tujuannya.
Setelah 34 hari pertempuran berdarah dan menelan biaya besar bagi kedua belah pihak, Israel menerima resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa ...