Hamim Pou Ahli Kebijakan Publik(Dok. Istimewa)
DI loket pelayanan, seorang ibu muda menyerahkan berkas; ia ingin akta kelahiran dan kepastian jaminan kesehatan. Dulu urusan begini bisa menghabiskan hari. Kini antrean lebih tertib, formulir ringkas, jawaban jelas. Perubahan kecil itu —waktu tunggu yang singkat, biaya yang pasti, pegawai yang responsif— adalah tolok ukur besar di mata warga. Pada perjumpaan paling sederhana antara negara dan rakyatnya itulah kinerja seharusnya dinilai. Bukan dari baliho dan seremoni melainkan dari hidup orang biasa yang menjadi sedikit lebih mudah.
Masalahnya, struktur kompensasi kepala daerah hari ini —gaji dan tunjangan tetap— nyaris tidak terhubung langsung dengan hasil yang dirasakan warga. Politik cenderung menyukai panggung; manajemen memerlukan ketekunan, konsistensi, dan disiplin eksekusi. Ketika imbalan tidak terkait capaian kesejahteraan, insentif bergeser pada agenda jangka pendek yang ramai audiens, sementara kerja-kerja sunyi seperti menurunkan kemiskinan ekstrem dan stunting, memperbaiki mutu belanja, mempercepat perizinan, serta menegakkan standar layanan kerap tertinggal.
Karena itu, saya mengusulkan tunjangan prestasi kepala daerah: komponen variabel yang dibayar ex post —hanya setelah capaian terukur benar-benar terjadi dan diverifikasi. Ini bukan hadiah pada pejabat tetapi konsekuensi logis dari contract for results: negara membayar manfaat publik, bukan retorika. Skema ini menyelaraskan mandat, perilaku, dan hasil, seraya memberi sinyal yang tegas: bukti dulu, baru bayar.
Tidak Ada Tawar Menawar
Mengapa dari APBN bukan APBD? Pertama agar standar nasional seragam dan tidak tergantung kemampuan fiskal daerah. Kedua, memberi kepastian pembiayaan sekaligus kontrol pusat atas pagu total insentif. Ketiga, menghindari konflik kepentingan: pemerintah daerah fokus mengejar hasil, sementara pembayaran dilakukan pemerintah pusat setelah verifikasi independen.
Apa yang diukur? Indikator harus sedikit tapi tajam —relevan, dapat diaudit, dan tahan manipulasi. Empat rumpun cukup untuk menangkap kinerja yang utuh:
- Kesejahteraan dasar: penurunan kemiskinan ekstrem, prevalensi stunting, dan pengangguran terbuka.
- Layanan publik: kecepatan dan kepastian perizinan, cakupan layanan dasar (pendidikan, kesehatan, air bersih), serta indeks kepuasan warga.
- Kualitas belanja & tata kelola: proporsi belanja berorientasi hasil, ketertiban tindak lanjut rekomendasi audit, dan kinerja perangkat daerah.
- Daya saing & lingkungan: kemudahan berusaha, produktivitas UMKM, dan kepatuhan lingkungan.
Bobot setiap indikator disepakati sejak awal masa jabatan dan dikunci sampai akhir, menutup ruang tawar-menawar musiman. Definisi operasional dibuat rinci (bagaimana menghitung, dari mana data ditarik, berapa ambang minimal) sehingga angka memaksa perbaikan proses: SOP yang jelas, penanggung jawab yang tegas, dan sistem informasi yang konsisten.
Bagaimana keadilan antarwilayah dijaga? Tidak semua daerah berangkat dari garis start yang sama. Daerah kepulauan, perbatasan, pegunungan, atau dengan basis fiskal sempit menghadapi tantangan biaya dan logistik berbeda. Oleh karena itu, formula tunjangan prestasi perlu koefisien kesulitan geografis dan sosial-ekonomi yang menyesuaikan target. Tujuannya bukan memanjakan melainkan memastikan perlombaan dimulai dari lintasan yang adil —yang dituntut adalah lompatan bermakna dari kondisi awal bukan sekadar angka absolut yang bias kota besar.
Siapa memverifikasi, dan bagaimana transparansinya? Data tidak boleh bertumpu pada laporan internal semata. Verifikasi harus memadukan basis data nasional, audit kinerja dan keuangan, inspeksi lapangan terpilih, serta uji silang melalui survei pihak ketiga. Hasil akhirnya dipublikasikan melalui dashboard nasional yang memuat capaian indikator, metodologi, bukti dukung, dan nilai pembayaran variabel tiap kepala daerah. Publik bukan hanya berhak tahu tetapi menjadi pengawas paling efektif.
Regulasi Turunan
Rambu pengaman apa yang mencegah penyimpangan? Pertama, ambang partisipasi: tidak ada pembayaran jika opini audit memburuk atau tindak lanjut rekomendasi macet. Kedua, batas atas (cap) agar nilai tetap proporsional terhadap gaji pokok. Ketiga, larangan konflik kepentingan dan sanksi tegas —administratif hingga pidana— bila ada rekayasa data. Keempat, mekanisme clawback: dana yang sudah dibayar wajib ditarik kembali jika kemudian ditemukan pelanggaran atau temuan substansial. Kelima, jalur banding dengan tenggat jelas, memastikan kepastian bagi yang berkeberatan tanpa mengorbankan akuntabilitas.
Seberapa sering dibayar? Sekali setahun setelah laporan kinerja dan keuangan disahkan dan verifikasi diumumkan. Skema ini tidak menambah struktur gaji melainkan hidup hanya bila hasil hidup. Keberatan bahwa ini bonus pejabat gugur di depan desainnya: indikator terbatas namun tajam, verifikasi independen, publikasi terbuka, cap pembayaran, dan clawback. Alih-alih memanjakan, insentif justru memaksa manajemen berbasis prioritas: memangkas seremoni, merapikan proses, dan berinvestasi pada hal-hal fundamental yang sering kurang panggung —mutu data, disiplin eksekusi, koordinasi lintas dinas, dan keputusan yang tidak selalu populer namun diperlukan.
Apakah kerangka hukum memungkinkan? Kerangka perundang-undangan pemerintahan daerah dan pengelolaan keuangan publik saat ini sudah menyediakan ruang untuk memperkuat evaluasi kinerja dan pemberian penghargaan proporsional. Yang dibutuhkan ialah regulasi turunan (setingkat PP/Perpres) yang secara eksplisit memasukkan komponen variabel berbasis kinerja dalam kedudukan keuangan kepala daerah, mengatur indikator minimum, metode verifikasi, tata cara penetapan serta pembayaran dari APBN, termasuk ketentuan clawback. Pedoman teknis lintas kementerian kemudian menurunkan definisi, standar data, dan protokol penyelesaian sengketa.
Peta Jalan Implementasi
- Tahun I: perumusan regulasi, uji coba sukarela pada daerah yang siap, pembangunan dashboard, dan penguatan integrasi data.
- Tahun II: perluasan cakupan, penajaman indikator, serta peningkatan kualitas audit kinerja.
- Tahun III: evaluasi komprehensif, penyesuaian formula, dan keputusan untuk pemantapan nasional.
Pada level kepemimpinan, kunci keberhasilan ada pada koalisi pelaksana. Kepala daerah membutuhkan perjanjian kinerja lintas dinas, buy-in DPRD, dukungan dunia usaha dan komunitas, serta komunikasi publik yang konsisten. KPI makro harus diterjemahkan menjadi rencana aksi mikro: berapa puskesmas menutup celah gizi, berapa desa memerlukan pendampingan usaha, berapa layanan prioritas disederhanakan tanpa mengorbankan keselamatan, dan bagaimana keluhan warga ditangani dalam tenggat pasti. Ketika target dipahami bersama, organisasi bergerak lebih serempak.
Pada akhirnya, tunjangan prestasi adalah instrumen untuk memulihkan martabat pemerintahan di mata warga: pemerintah yang menghormati waktu, menjawab kebutuhan, dan jujur pada data. Ibu di loket layanan tidak peduli istilah teknis; ia hanya ingin urusannya selesai cepat dan benar. Bila suatu hari kepala daerah menerima bagian variabelnya, publik paham alasannya —karena data, karena kerja, karena hasil. Dan bila ada pelanggaran, publik juga tahu uang itu akan kembali. Itulah makna kontrak kinerja: negara membayar setelah bukti agar setiap rupiah anggaran menjelma manfaat yang dirasakan. (H-4)

3 days ago
3
































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5365168/original/090343300_1759140108-WhatsApp_Image_2025-09-29_at_17.00.24.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5352887/original/013654100_1758144467-AP25260720491829.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5364853/original/046358800_1759128662-462a26d0-2645-4809-88b5-48611f626139.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5348836/original/064698500_1757902947-ClipDown.com_536149216_18672569230011649_1930765662361117681_n.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4757356/original/067911600_1709187898-20240229-Bayi_Tahun_Kabisat-HER_1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5365417/original/044399600_1759182511-ea_sports_game.jpg)