Bernegara dengan Iman

1 week ago 5
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Bernegara dengan Iman Masmuni Mahatma Ketua PWNU Kepulauan Bangka Belitung dan Kepala Biro AAKK UIN Imam Bonjol Padang.(Dok. Pribadi)

AMANAH dan tugas bagi diri yang beriman adalah saling mengingatkan dalam hal kebajikan termasuk menyangkut kemaslahatan bernegara. Negara mesti dimaknai dan disuguhkan sebagaimana etisnya negara. Ia bukan semata payung dan kincir legalitas birokratisasi duniawiyah melainkan juga bagian dari energi prinsipil menyongsong perspektif masa depan ukhrowiyah. Tidak berlebihan ketika sedari awal Rasulullah SAW memberikan keteladanan dalam konteks pengelolaan bernegara. Sebagian filosof menyebutnya pengelolaan berbasis konstruksi ontologia, epistemologia, aksiologia dari dan untuk al-madinatu al-fadilah melalui Piagam Madinah.

Piagam Madinah dikenal dan dimafhumi serupa Kitab Sucinya masyarakat beriman untuk menjalankan misi, visi, dan tata kelola kenegaraan. Denyut substansialitas piagam ini telah menggariskan filosofi, spirit, nalar, dan orientasi masyarakat beriman dalam rangka mendesain sosial hidup yang lebih berdaulat dan mencerahkan atas dasar nilai imani. Sehingga tidak ada pembedaan paling krusial mengenai suku, golongan, budaya, dan agama. Siapa pun yang berada dan mengada dalam bingkai negara, seperti ajaran Rasulullah SAW sejatinya merupakan tubuh dan jiwa yang sama. Harus dilindungi dan dioptimalisasi kewajiban dan hak-hak sosialnya.

Tidak heran bilamana Sayyidina Ali menegaskan siapa saja yang tidak sesaudara atas nama darah dan keturunan yang sama, sejatinya mereka tetap saudara dalam (ber)iman. Bahkan siapa yang dianggap bukan saudara dalam iman (agama) sungguh nyata tetap sesaudara dalam kemanusiaan dan kehambaan. Di sini simpati dan empati sosial keimanan maupun kemanusiaan dalam merajut keutuhan bernegara kian menyala dan mengalir secara esensial. Rasulullah SAW dan Sayyidina Ali mengajak masyarakat beriman untuk tidk henti bahu-membahu, saling melengkapi, saling menguatkan, dan saling mencerahkan demi penghidmatan kesemestaan.

Menghargai Rakyat

Negara dibentuk dan ditumbuhkan dilandasi komunikasi, aspirasi, cita-cita, dan kesadaran kolektif seluruh rakyat. Apalagi Indonesia, jelas sekali, benar-benar diwujudkan berdasarkan jerih payah dan tumpah darah rakyat yang langsung dikomandoi para leluhur pemberani mulai dari Ir. Soekarno, Moh. Hatta, H. Agus Salim, KH. Moh. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahid Hasyim, Moh. Yamin, Ki Hajar Dewantara, Soepomo, Boedi Utomo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Alexander Andries Maramis, Jenderal Besar Sudirman, A. Kahar Muzakkir, Achmad Soebardjo, dan lain-lain.

Pahit getir pembentukan negara tidak bisa dilepaskan pula dari derita luka dan sengsaranya rakyat. Nyawa rakyat lebih banyak musnah dibandingkan nyawa elite selama berjuang mewujudkan, menegakkan, dan mempertahankan kemerdekaan sekaligus kedaulatan bernegara. Keringat rakyat jauh lebih banyak meluber demi menjaga eksistensi sosial kebangsaan dan maruah kenegaraan sejak era kolonial, imperial, hingga era milenial. Rakyat bernapas dari terik dan keringat di ladang, sawah, kebun, pekarangan, dan lain-lain demi mengarifi dirinya mengawal kehidupan bersama keluarga masing-masing. Banting tulang setiap hari, berlomba dengan waktu tanpa henti, bergesekan atas nama tuntutan dan cita-cita keluarga kecil mereka seakan telah menjadi sebuah lagu yang tak kehabisan deru.

Wajar penyair Celurit Emas, Zawawi Imron (1996:130), dalam sajaknya berseru, “Anakku mati di medan laga, dahulu/Saat Bung Tomo mengipas bendera dengan takbir/Berita ini kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah/Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap/Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap.” Terang bahwa di Indonesia ini tidak sedikit rakyat yang dulu keluarganya ditumpas habis oleh penjajah baik Belanda, Jepang, Inggris, dan Portugis. Akan tetapi sepertinya sampai detik ini belum maksimal negara menghargai rakyat. Setiap momentum bersejarah tiba seperti bulan Agustus, Oktober, dan November, misalnya, yang selalu diperhatikan dan mendapat sentuhan masih para elite masa lalu.

Leluhur rakyat yang gugur di perkampungan dan tidak pernah ditelusuri atau dicatatkan dalam administrasi negara secara maksimal belum pula memperoleh sentuhan ringan serupa apresiasi atau  simpati apalagi prasasti. Apakah ini sekadar kekhilafan bernegara atau memang pengabaian yang telah dilalui dan terencana? Na’udzubillah! Mari bersua peka demi mereka. Bersama-sama menghargai rakyat. Ubah paradigma tentang pahlawan yang makin mudah digelar-gelarkan. Lakukan taubat kenegaraan secara empatik dan edukatif serta (inter)historik bukan terus menerus saling melegalkan egoisitas melalui kekuasaan yang sejatinya didapat dari aspirasi dan kepercayaan rakyat. Sudahi kemunafikan, dahulukan kejujuran.

Politik Etik

Dalam rangka mewujudkan pencerahan bernegara melalui iman, alangkah arif dan bijaksana segera lakukan reorientasi politik. Mentalitas politik terlalu kompromistik-pragmatis hanya akan mendistorsi pelbagai keringat dan darah rakyat yang tulus menjaga maruah negara ini. Politik egoistik seyogianya disisihkan secepat mungkin. Politik etik demi integrasi aspirasi rakyat diprioritaskan. Sehingga akan meminimalisasi politik saling mencari kesalahan, mengkhianati keringat kejuangan, saling jegal-bebal dan menggantungkan kasus lantaran ambisi atau bahkan mabuk kepentingan keduniawian. Lebih-lebih hanya demi mempertahankan kursi empuk di kementerian. Negara milik bersama bukan untuk yang sedang berkuasa belaka.

KH. Moh. Hasyim Asy’ri lugas mensinyalir bahwa mencintai tanah air negara ini bagian dari kualitas dan akuntabilitas iman, hubbul wathan min al-iman. Sekira setiap diri, terutama elite-elite politik (kuasa) sadar akan urgensi kebajikan kolektif, mari pelan tetapi pasti benahi filosofi, struktur, dan kultur bernegara. Tidak boleh hanya dari dan untuk merebut sekaligus memperoleh kekuasaan atas nama kepentingan. Hal ini yang terus mendistorsi, mendelegitimasi, dan mengkhianati aspirasi maupun amanah rakyat. Perspektif kepentingan ini juga yang melahirkan friksi, konflik, dan adu jotos perkara atau bahkan saling sandera mengorbankan fakta-kebenaran. Dus, praktik politiknya jauh dari hakikat konstruktif-edukatif dalam bernegara.

Meskipun politik, meminjam nalar Bernard Crick, seperti dikutip Andrew Heywood (2014:13) merupakan aktivitas di mana semua kepentingan yang berbeda dalam sebuah unit pemerintahan tertentu didamaikan kemudian diberikan mereka bagian dalam kekuasaan sebanding dengan peran mereka bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup seluruh masyarakat. Maka politik di hadapan publik mesti lebih loyal terhadap keringat, kemerdekaan, dan kesetaraan rakyat. Apalagi kata John Stuart Mill, partisipasi politik sebagai sebuah kebaikan dalam dirinya sendiri telah menarik kesimpulan serupa. Ia juga harus bersifat mendidik, mensupport eko-humanitas moral-etik, membaluri pelbagai aktivitas dengan kejujuran, ketulusan, dan aksi luhur terukur secara bersama-sama.

Ala kulli hal, bernegara dari kesadaran dan komitmen iman tentu menguatkan dan menguntungkan serta menyejahterakan seluruh elemen bangsa. Sebab bernegara dengan iman perlahan tetapi pasti akan mengaktualisasikan diri atas nama prinsip, spirit, dan nilai-nilai esensialistik dari konstruksi tawasau bi al-haqqi wa tawasau bi al-shabri (QS. Al-Ashr:3). Artinya, segenap elemen bangsa dan negara seyogianya senantiasa mengintegrasikan prinsip dan nilai-nilai sosial kehidupan seturut objektivitas imani dan cita-cita luhur ukhrowi yang bersifat universal. Bukan sekadar bicara dan mengalirkan kehendak orientasi kuasa duniawi yang berdimensi parsial.

Lebih dari itu, politik bernegara yang diorkestrasi-dioptimalisasi kelak akan artikulatif, artistik, dan estetik. Tendensi politik parsialistik tidak elok disulap laiknya instrumen mengaburkan dan memusnahkan kerja universalistik. Politik saling sandera akan tergantikan politik etik berbasis karya nyata. Bukan lagi pentas politik sandiwara tetapi perilaku politik etik yang dilandasi iman dan kejujuran mengabdi utuh pada negara. Sehingga tesis Ibnu Khaldun, kekuasaan itu kebenaran, tidak menggurita semakin liar dan binal. Sebab negara, kata Hegel, seperti ditirukan Abdelwahab El-Affendi (2001:16), adalah prinsip moral tertinggi, locus dari kehendak universal, hasil dari bentangan jiwa manifestasi ilahiah yang historik. (H-3)

Read Entire Article