
UNICEF dalam laporan Child Nutrition Report 2025 menyoroti meningkatnya paparan anak terhadap iklan makanan dan minuman tinggi gula yang dipasarkan secara agresif. Anak-anak saat ini dikelilingi oleh produk ultra processed food (UPF) atau ultra-proses seperti minuman manis dan camilan kemasan yang digemari anak-anak. Iklan semacam ini dinilai menjadi salah satu pendorong utama meningkatnya obesitas dan gangguan gizi pada anak di seluruh dunia.
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengatakan regulasi iklan di Indonesia masih lemah dalam melindungi anak dari paparan promosi makanan dan minuman tidak sehat. Salah satunya ialah iklan kental manis yang kerap dipersepsikan masyarakat sebagai susu, padahal regulasi menyatakan sebaliknya.
“Regulasi iklan di Indonesia saat ini masih belum efektif, terutama dalam melindungi konsumen dari misinformasi dan praktik pemasaran yang menyesatkan. Terlebih dengan adanya kanal digital, termasuk media sosial, memperkuat pengaruh pemasaran yang tidak sehat,” kata Project Lead Food Policy CISDI, Nida Adzilah Auliani.
Iklan kental manis mulai menjadi perhatian publik sejak ditemukan sejumlah kasus gizi buruk pada anak yang disebabkan oleh konsumsi kental manis sejak usia dini. Bahkan sejumlah korban telah mengkonsumsi sebagai pengganti ASI sejak usia 3 bulan. Tidak heran, sebab hampir 90 tahun lamanya, produk ini diiklankan sebagai susu, bergizi dan menampilkan visual anak-anak. Pada Oktober 2018, BPOM mulai menegaskan bahwa kental manis bukan minuman untuk sumber gizi dan dilarang dijadikan sebagai pengganti ASI, yang diatur melalui PerBPOM No 31 Tahun 2018, tentang Label Pangan Olahan.
Namun demikian, dampak dari iklan yang menyesatkan tersebut masih terasa hingga kini. Banyak masyarakat yang masih menganggap kental manis sebagai minuman susu untuk anak, dengan alasan kebiasaan turun-temurun dan pengaruh persepsi lama yang belum sepenuhnya hilang.
Oleh karenanya, pengawasan iklan dan distribusi produk tak bisa dipandang sebelah mata. Lebih lanjut, Nida berharap pemerintah dapat membuat kebijakan pangan secara komprehensif. Mulai dari pelabelan hingga pemasaran produk yang mudah diakses oleh anak-anak.
“Kebijakan ini harus meliputi label depan kemasan berbasis bukti, pembatasan pemasaran produk tidak sehat, serta lingkungan pangan sehat di sekolah,” tegas Nida.
Senada dengan itu, Peneliti dari Universitas Internasional Batam (UIB) Rahmi Ayunda dalam salah satu tulisannya memaparkan keberadaan ruang digital yang sangat ramai menjadikan promosi dan iklan UPF menjadi begitu dekat dengan masyarakat. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indoenesia (APJII) pada 2024 mencatat 221,6 juta pengguna internet (sekitar 79,5% populasi), dan 9,2% di antaranya anak di bawah 12 tahun.
“Artinya, jutaan anak menghabiskan waktu di jalan raya informasi, di mana promosi menyatu dengan hiburan. Iklan tak selalu tampil sebagai iklan; bisa berupa tantangan lucu, ulasan jujur, atau karakter favorit yang menyarankan camilan manis. Di sinilah aspek hukum menjadi krusial, anak belum memiliki kapasitas kognitif untuk membedakan mana hiburan dan mana ajakan membeli, sehingga mereka berhak atas proteksi khusus dari praktik promosi yang mengecoh,” tulis Rahmi.(H-2)