RENCANA pengesahan Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) oleh DPRD DKI Jakarta menuai penolakan luas dari kalangan pelaku usaha kecil. Mereka menilai sejumlah pasal dalam rancangan tersebut justru menekan ekonomi rakyat kecil dan mengancam keberlangsungan warung makan, pasar tradisional, hingga usaha mikro.
Ketua Koperasi Warteg Nusantara (Kowantara) Mukroni menyayangkan sikap DPRD DKI yang tetap meloloskan pasal zonasi pelarangan penjualan dan pemajangan rokok di warung.
"Kami kecewa, aspirasi pedagang kecil tidak didengarkan. Raperda ini akan semakin menindas usaha rakyat kecil,” ujar dia melalui keterangannya, Sabtu (11/10).
Mukroni mencatat, lebih dari 25 ribu warteg sudah tutup pascapandemi. Ia khawatir aturan baru ini mempercepat kebangkrutan usaha kecil yang tersisa.
"Kalau pelanggan takut datang karena aturan ini, ekonomi rakyat makin ambruk,” tambahnya.
Penolakan serupa datang dari Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Mujiburohman. Ia menolak pasar tradisional dimasukkan dalam perluasan kawasan tanpa rokok.
“Kalau pasar juga dilarang, pendapatan pedagang pasti turun,” tegasnya.
Ia menilai pasal larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan taman bermain terlalu luas dan tidak realistis. Sementara, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai penyusunan Raperda KTR minim partisipasi publik. Menurutnya, peraturan daerah seharusnya mewakili seluruh lapisan masyarakat, termasuk pedagang kecil yang terdampak langsung.
"Kalau banyak pihak yang protes, artinya prosesnya tidak partisipatif. Padahal, itu amanat konstitusi,” katanya.
Trubus mengingatkan, tanpa pelibatan publik yang memadai, aturan ini bisa digugat setelah disahkan. Ia mendorong DPRD dan Pemprov DKI membuka dialog terbuka dengan pelaku usaha sebelum menetapkan pasal final.
"Jangan sampai peraturan yang niatnya baik malah merugikan rakyat kecil,” pungkasnya. (E-4)