Di tengah dinamika ekonomi dunia yang serba tak pasti, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 kembali menunjukkan perannya sebagai jangkar stabilitas nasional. Ketika banyak negara bergulat menghadapi krisis energi dan lonjakan harga pangan, Indonesia justru memilih jalur antisipatif: memperkuat ketahanan energi dan pangan melalui kebijakan fiskal yang berpihak pada kemandirian dan keberlanjutan.
Sejak awal, pemerintah menyadari bahwa ketahanan energi dan pangan bukan sekadar urusan teknis atau logistik semata, melainkan urat nadi kedaulatan bangsa. Di balik angka-angka dalam Nota Keuangan, tersimpan semangat untuk menata masa depan Indonesia agar tak bergantung pada arus global yang mudah berubah.
Kementerian Keuangan saat ini di bawah kepemimpinan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan arah baru APBN 2025 sebagai instrumen untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan ketahanan nasional.
Kebijakan fiskal diarahkan agar tetap ekspansif, tetapi terukur—mendorong sektor strategis yang menopang kedaulatan energi dan pangan nasional. Fokusnya bukan semata-mata menjaga laju ekonomi, tetapi memastikan daya tahan masyarakat menghadapi tekanan harga global.
Kinerja APBN 2025 juga memperlihatkan komitmen kuat dalam menjaga keseimbangan antara subsidi, kompensasi, dan efisiensi energi nasional. Menurut data Kementerian Keuangan (dilansir CNBC Indonesia, Oktober 2025), realisasi belanja subsidi dan kompensasi energi hingga awal kuartal IV 2025 mencapai sekitar Rp192,2 triliun dari total pagu Rp394,3 triliun yang ditetapkan dalam APBN. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp123 triliun dialokasikan untuk subsidi kepada badan usaha seperti PLN dan Pertamina, sementara Rp69,2 triliun digunakan sebagai kompensasi untuk menekan gejolak harga energi di tengah fluktuasi global.
Sementara itu, berdasarkan laporan resmi Kementerian ESDM (2025), subsidi listrik tahun 2025 mencapai Rp90,22 triliun, naik dibandingkan tahun sebelumnya. Kebijakan ini menunjukkan bahwa APBN bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan juga tameng ekonomi yang menjaga daya beli masyarakat serta stabilitas energi nasional di tengah tekanan geopolitik dan perubahan iklim.
Arah kebijakan energi kini mulai bergeser dari sekadar subsidi konsumsi menuju subsidi transformatif—yang menstimulasi efisiensi dan inovasi. Program transisi energi, seperti pengembangan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT), mulai mendapat perhatian lebih besar.
Pemerintah mendorong pembiayaan transisi energi melalui skema Energy Transition Mechanism (ETM) dan blended finance, yang dikembangkan bersama mitra internasional. Dengan langkah ini, Indonesia berupaya menegaskan kemandirian energi yang tidak bertentangan dengan tanggung jawab lingkungan. Inilah cara baru negara menegaskan perannya di panggung global—berdaulat secara ekonomi, berkelanjutan secara ekologis.
Di sisi pangan, pemerintah meningkatkan alokasi anggaran ketahanan pangan pada 2025. Ketahanan pangan kini tidak lagi dilihat dari seberapa banyak beras disimpan di gudang Bulog, tetapi seberapa kuat rantai pasok domestik bertahan menghadapi cuaca ekstrem, konflik geopolitik, atau fluktuasi harga dunia.
Pemerintah memperkuat anggaran untuk produksi, distribusi, dan cadangan pangan nasional melalui sinergi lintas kementerian dan lembaga. Program Food Estate, revitalisasi irigasi, dan digitalisasi pertanian mendapat dorongan baru. Fokus kebijakan bukan hanya pada peningkatan hasil, melainkan juga pada kesejahteraan petani dan stabilitas harga di tingkat konsumen.
APBN 2025 juga membuka ruang besar bagi investasi pertanian berkelanjutan melalui skema public-private partnership. Hasilnya diharapkan bukan hanya panen yang meningkat, melainkan juga tumbuhnya ekonomi pedesaan yang lebih tangguh dan mandiri.
Di balik semu...