Bayangkan Indonesia hari ini tanpa Sumpah Pemuda. Bukan bubar—kita terlalu tangguh untuk itu—tetapi tersibukkan oleh urusan yang semestinya sederhana. Rapat RT berubah menjadi ajang menerjemahkan maksud; pembawa acara berbicara singkat, penerjemah bekerja dua kali lebih lama. Notulen terbit dalam berlapis-lapis versi karena setiap kalimat perlu ditimbang nuansanya.
Di jalan raya, layanan transportasi menyesuaikan. Pengemudi memberi petunjuk dengan istilah setempat, penumpang menebak sambil mengandalkan tombol “terjemahkan” di ponsel—sering membantu, kadang sekadar memperhalus kebingungan. Di sekolah, “Bahasa Indonesia” menjadi pilihan, bukan arus utama. Ujian berfokus pada etika sapaan lintas wilayah, sementara pelajaran menulis tersendat pada cara menyapa yang aman bagi semua telinga.
Media pun beradaptasi. Satu berita bisa tampil dalam banyak judul untuk menjangkau ragam pembaca; isi sama, irama berbeda. Di ruang komentar, perdebatan kerap beralih dari substansi ke pilihan imbuhan, karena makna bisa bergeser hanya oleh akhiran. Industri iklan menguji slogan per daerah agar tidak salah tangkap: “bersih cling” di satu pasar, “bersih cemerlang” di pasar lain—sekilas remeh, namun memengaruhi kepercayaan.
Dunia usaha tumbuh di sekitar kebutuhan pemahaman. Layanan terjemah real-time, pelatihan komunikasi lintas dialek, hingga moderator rapat yang andal menjaga nada. Politik pun menemukan jalannya. Janji kampanye disusun dalam paket bahasa beragam agar tidak menyinggung siapa pun; debat publik berjalan dengan takar suara yang hati-hati—jelas, namun tidak selalu tegas.
Di pengadilan, kecermatan berbahasa menjadi penentu. Perbedaan kata kerja atau penempatan tanda baca mampu mengubah tafsir. Upaya menjaga keadilan pun menuntut kehadiran penerjemah nuansa, bukan sekadar penerjemah kata. Di upacara kenegaraan, lagu kebangsaan berdenyut dalam ragam irama daerah—indah, tetapi tanpa satu koridor bersama, mudah kehilangan patokan tempo.
Lalu bagaimana nasib bahasa Indonesia? Ia tetap hidup, namun tak pernah menjadi rumah bersama. Ia digunakan komunitas yang mencintai keterbacaan, sebagian birokrat yang memerlukan kejelasan, dan para penghubung yang sabar menyusun kalimat agar semua pihak saling memahami. E-dagang, layanan pelanggan, hingga syarat dan ketentuan berlomba-lomba meringkas, tetapi “ringkas versi teluk” belum tentu sama dengan “ringkas versi dataran”.
Di stadion, dukungan untuk kesebelasan nasional tetap meriah. Hanya saja, pada bait ketiga yel-yel, para pemimpin chant sering mengingatkan perbedaan sapaan agar semangat tidak terseret salah paham. Kita masih bergerak, berdagang, tertawa, berdebat, lalu berdamai—namun kerap tersandera perkara kata-kata sebelum menyentuh substansi kerja bersama.
Apakah semua ini buruk? Tidak. Perbedaan adalah kekuatan yang memperkaya. Namun tanpa simpul pada 1928, perjalanan kebangsaan menyerupai percakapan keluarga besar di ruang digital: hangat, riuh, tetapi sulit mencapai keputusan karena tidak ada “pesan yang dipin” untuk dirujuk bersama. Kita piawai pada detail, kurang luwes pada kesepakatan.
Sumpah Pemuda, bila tak pernah diucapkan, mungkin tinggal draf yang tidak disahkan—pembaruan yang tak pernah dipasang. Sistem tetap berjalan, namun rawan tersendat ketika tuntutan meningkat. Pada saat-saat genting, kita mencari tombol yang menyatukan makna, bukan hanya memperbanyak opsi.
Pada akhirnya, bahasa yang diikrarkan Sumpah Pemuda adalah anugerah yang menautkan kita—simpul yang membuat keberagaman saling menguatkan, bukan meniadakan. Ia memberi ruang bersama untuk berdebat tanpa tercerai, bercanda tanpa tersesat, dan bermimpi tanpa tersandung batas dialek.
Di dalamnya, yang berbeda tetap bersuara dengan aksen sendiri, sementara arah langkahnya sama: maju sebagai Indonesia. Persatuan bukan menyeragamkan, melainkan menyepakati satu jembatan agar semua tepi bertemu. Itulah spirit yang kita rawat—beragam bunyi, satu nada—yang menjadikan Indonesia bukan sekadar peta, melainkan janji untuk terus menjadi.

8 hours ago
4




















:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5332436/original/003536800_1756480749-Foto_1__10_.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5348193/original/048291100_1757781492-000_74DX7CN.jpg)


:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5349999/original/079078300_1757982188-Update_iPadOS_26_01.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5297258/original/078475600_1753678681-irak.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4919615/original/005500400_1723771825-000_34U66K6.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5118310/original/048309000_1738502700-PodiumWS3_ThailandMasters2025_PBSI_20250202.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5347633/original/080048700_1757689747-WhatsApp_Image_2025-09-12_at_15.16.45__1_.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5352717/original/059565100_1758110238-Punya_Performa_Ultra__HUAWEI_Pura_80_Pro_Hadir_dengan_Sensor_1_Inci_Terbesar_di_Industri___Akurasi_Warna_Terbaik_1.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5351102/original/047113200_1758014664-IMG-20250916-WA0046.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5347166/original/048805600_1757662606-Astrid_Kuya_0.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5349658/original/078498700_1757926641-IMG_20250915_110940_977.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5351336/original/075025700_1758029748-20250916-Alexander_Popovskiy-HEL_1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5347165/original/022584300_1757662606-Astrid_Kuya_1.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4438802/original/091605900_1684902377-Jepretan_Layar_2023-05-24_pukul_10.56.50.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5349485/original/046652500_1757923352-SNP08794_1_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5351231/original/019581400_1758019745-Kejurnas_Muaythay_2.jpeg)