Guru di Era AI: Fondasi Baru, Peran Baru

6 days ago 20
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
MI/Seno MI/Seno(Dok. Pribadi)

RUANG digital kita hari ini kerap menampilkan kisah-kisah muram seputar relasi guru dan murid. Ceritanya bukan lagi sekadar bentakan di kelas, tetapi kekerasan yang berubah menjadi luka sosial, perundungan yang menyisakan trauma panjang, bahkan kematian yang kemudian viral tanpa pernah benar-benar terselesaikan.

Narasi semacam itu menumpuk dan membentuk persepsi baru: sekolah seolah bukan lagi ruang yang menumbuhkan karakter, melainkan panggung konflik yang terus direkam, dibagikan, dan diperbincangkan. Publik pun mudah tergelincir pada simpulan tunggal bahwa pendidikan telah kehilangan daya ciptanya, sehingga para pengampunya dianggap layak digantikan oleh teknologi, terutama kecerdasan artifisial (AI).

Padahal, wajah pendidikan tidak sesederhana linimasa media sosial. Di Banda Aceh, misalnya, seorang guru bernama Putra Aprullah menunjukkan sisi lain ruang kelas: bukan sekadar tempat mengulang silabus, tetapi laboratorium masa depan. Prestasinya di panggung internasional menegaskan bahwa sekolah masih dapat menjadi titik tolak perubahan, bukan sekadar objek sorotan publik atau bahkan panggung konflik.

EVOLUSI PERAN

Nama lengkapnya Muhammad Putra Aprullah, guru ekonomi dan akuntansi dari MAN 1 Banda Aceh. Januari 2025 lalu ia meraih penghargaan Inspirational Educator of The Year pada World School Summit 2025 di Help University, Kuala Lumpur. Ia juga menerima gelar kehormatan Doctor of Philosophy in Education dari Maryland State University, Amerika Serikat.

Dari total 6.785 nominasi internasional, namanya terpilih sebagai yang paling inspiratif—pengakuan atas pendekatannya yang holistik, kreatif, dan berorientasi global. Namun, pencapaian itu hanya pintu masuk ke isu yang lebih besar: pergeseran identitas profesi guru di era kecerdasan artifisial.

Selama ini, digitalisasi pendidikan sering dipahami sebatas adopsi alat baru—dari asesmen otomatis hingga penyusunan materi ajar kilat. Pendekatan ini membuat teknologi sekadar pelengkap metode lama, bukan pendorong transformasi.

Padahal, AI telah mengambil alih fungsi-fungsi inti pengajaran: menjelaskan materi, memberikan latihan adaptif, dan memetakan kesalahan murid secara real-time. Jika guru tetap berperan sebagai sumber utama pengetahuan, ia akan bersaing dengan mesin yang bekerja lebih cepat, lebih luas, dan lebih konsisten. Persaingan itu jelas tidak adil, dan tidak perlu.

Evolusi peran guru dalam konteks AI generatif dapat dipahami sebagai proses dinamis yang dipengaruhi interaksi antara karakter teknologi AI dan persepsi, penerimaan, pengetahuan, serta praktik guru. Kerangka ini berakar kuat pada Technology Acceptance Model (TAM) yang menempatkan adopsi sebagai sebuah kontinuum (Davis, 1989).

Dari model ini, kita bisa memetakan empat level peran guru dalam adopsi dan integrasi AI, yaitu Observer, Adopter, Collaborator, dan Innovator (Xiaoming Zhai, 2024). Ini mencerminkan pergeseran guru dari sekadar pengamat menuju inovator. Di Indonesia, banyak guru masih berada di dua level pertama, melihat teknologi dari kejauhan atau hanya menggunakannya untuk efisiensi kerja.

Putra Aprullah bergerak berbeda: ia menggunakan AI untuk mendorong murid bereksperimen, bukan sekadar menerima materi. Pembelajaran ekonomi dan akuntansi ia geser dari hafalan ke simulasi, dari teori ke eksplorasi, dari konsumsi pengetahuan ke produksi makna.

Ini bukan berarti semua guru harus menjadi inovator. Minimal, guru harus bertindak sebagai Collaborator yang bersinergi dengan teknologi. Sebagian akan berkembang menjadi Innovator, terutama yang menjadi rujukan profesi.

ARAH BARU TRANSFORMASI

Transformasi mentalitas ini tidak mungkin terjadi tanpa fondasi struktural. Karena itulah, di tingkat nasional, agenda peningkatan kesejahteraan guru kini menjadi komitmen serius.

Melalui Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti, pemerintah berupaya memberi legitimasi sosial bagi profesi guru. Tesis utamanya, tanpa kepastian hidup, sulit menuntut para guru bereksperimen atau meningkatkan kompetensi.

Pada tahun 2025, pemerintah mengalokasikan insentif pendidikan bagi 12.500 guru untuk menempuh pendidikan S1 melalui Program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) di 112 perguruan tinggi, dengan dana sebesar Rp37,5 miliar.

Selain itu, sebanyak 341.248 guru honorer menerima insentif Rp300.000 per bulan selama tujuh bulan, dengan total realisasi mencapai 85 persen atau sekitar Rp716 miliar. Kemendikdasmen juga menyalurkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) untuk 253.407 guru PAUD nonformal.

Per Maret 2025, tunjangan sertifikasi guru juga telah ditransfer langsung ke rekening masing-masing guru setiap bulan. Ini menggantikan skema lama yang dilakukan setiap tiga bulan via pemerintah daerah.

Langkah ini berjalan berdampingan dengan penguatan kualitas kompetensi. Kemendikdasmen mulai menempatkan pembelajaran mendalam sebagai poros kurikulum: penekanan pada pemahaman, penalaran, dan pemecahan masalah, bukan hafalan. Integrasi koding dan kecerdasan artifisial (KA) pun mulai dibangun sebagai jalur kompetensi baru yang tidak hanya digital, tetapi juga strategis.

Kesejahteraan memberi ruang, kompetensi memberi arah. Keduanya menjadi landasan bagi lahirnya guru yang bukan hanya mengajar, tetapi memimpin pembelajaran. Meskipun demikian, kebijakan saja tidak cukup. Transformasi harus menjelma menjadi budaya profesional: sekolah yang menghargai kolaborasi, bukan hanya kepatuhan prosedural; pengembangan kompetensi yang berkelanjutan, bukan pelatihan teknis sesekali; dan ruang kelas yang menguji ide, bukan sekadar menjalankan instruksi.

Perubahan pendidikan tidak bergerak dari satu sisi saja. Ia memerlukan pertemuan antara kebijakan yang memfasilitasi dan inisiatif guru yang berani bereksperimen. Di titik temu itulah model Aprullah menjadi relevan: bukan sebagai pengecualian, tetapi sebagai gambaran tentang apa yang mungkin terjadi ketika guru memiliki visi, akses, dan keberanian profesional.

Era AI bukan ancaman bagi profesi guru, melainkan ujian terhadap definisi profesinya. Mesin dapat mengambil alih hafalan dan efisiensi, tetapi tidak dapat menggantikan empati, penilaian moral, arah nilai, dan kemampuan merancang pengalaman belajar yang memanusiakan murid.

Selamat Hari Guru!!

Read Entire Article