
PENINGKATAN utang Indonesia sebagai konsekuensi dari APBN yang defisit disebut masih diimbangi oleh ekonomi yang juga meningkat. Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto dalam media gathering di Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10).
"Rasio utang terhadap PDB kita relatif terjaga rendah dan cukup stabil. Meskipun secara nominal utangnya bertambah, PDB kita juga bertambah. Maknanya apa? Utang itu menghasilkan pertumbuhan ekonomi," ujar Suminto.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, katanya, akan membuat penerimaan negara yang juga lebih tinggi. Dengan itu, kemampuan negara membayar utang juga akan lebih tinggi.
Sampai kuartal II 2025 atau per akhir Juni 2025, utang pemerintah mencapai Rp9.138,05 triliun. Angka itu setara dengan 39,86% terhadap produk domestik bruto (PDB). Nilai utang itu meningkat dari utang pemerintah pada 2024 sebesar Rp8.813,16 triliun
Mengenai utang jatuh tempo yang mencapai Rp800 triliun, menurutnya, yang perlu dilihat tidak saja dari sisi levelnya tapi juga dari sisi pengelolaan portfolio. Antara lain yang paling penting adalah bagaimana pengelolaan refinancing risk-nya, misalnya dari sisi rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) .
"Ketika average time to maturity kita itu optimal, tidak terlalu pendek, tapi juga tidak terlalu panjang, itu memberi ruang kita mengelola refinancing risk dengan baik. Jadi kalau kita berbicara mengenai utang jatuh tempo, konsep yang penting di situ ada dari sisi refinancing risk yang terjaga,” paparnya.
Suminto menyebut dari sisi kewajiban membayar utang, Indonesia tidak punya sejarah tidak bisa memenuhi kewajiban. "Kita memiliki kemampuan yang baik untuk membayar kewajiban utang karena level utang kita relatif masih cukup rendah, dalam batas kapasitas kita untuk memenuhi kewajiban utang kita," pungkasnya. (Ifa/E-1)