(MI/Seno)
DUNIA pelayanan kesehatan di Indonesia hari-hari ini mendapat ujian yang luar biasa. Ada serentetan kasus yang menampar moralitas dan kepedulian rumah sakit dalam menyikapi kehadiran pasien dari kalangan tidak mampu. Bukan hanya ada dokter yang digugat karena diduga melakukan malapraktik seperti pada kasus dr RSA di Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, atau kasus dokter spesialis kandungan yang membongkar mirisnya fasilitas medis saat melakukan operasi pasien di RSUD LM Baharuddin Muna, Sulawesi Tenggara.
Ada pula kasus yang terjadi di Papua baru-baru ini. Kasus penolakan pihak rumah sakit untuk segera menangani Irene Sokoy, warga Kampung Hobong, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, adalah sebuah tragedi yang benar-benar memprihatinkan. Seorang ibu hamil yang bertarung nyawa memeriksakan kesehatan dirinya dengan mengendarai speedboat
, ternyata harus mengalami penolakan oleh empat rumah sakit dengan berbagai alasan. Ibu muda yang sedang hamil itu akhirnya meninggal bersama janinnya karena tak kunjung memperoleh penanganan medis.
Sungguh, ini tragedi kemanusiaan yang sangat menusuk hati nurani. Hati siapa yang tak miris membaca peristiwa yang dialami Irene Sokoy di atas. Negara yang seharusnya hadir tatkala ada warganya yang membutuhkan layanan kesehatan, ternyata lembaga ujung tombak layanan kesehatan negara di berbagai rumah sakit justru menolak melayani pasien. Pasien yang dalam posisi lemah akhirnya tidak sanggup lagi menahan penyakitnya, dan mengembuskan napas terakhir setelah perjuangannya mencari kesembuhan tak kunjung ditangani.
GUNUNG ES
Kasus penolakan terhadap Irene Sokoy adalah kasus yang kesekian kalinya terjadi di Tanah Air. Setiap kali terjadi kematian pasien gara-gara sikap abai dan kelalaian rumah sakit, pemerintah sebetulnya selalu menegur, mengecam, dan bahkan memberikan sanksi. Akan tetapi, alih-alih takut, kasus pelanggaran etik (bahkan bisa pelanggaran pidana) layanan yang dilakukan sejumlah rumah sakit di Papua ini memperlihatkan betapa asosial dan tidak sensitifnya sikap rumah sakit menghadapi pasien yang berasal dari kelompok papa.
Irene Sokoy adalah salah satu pasien yang mengalami kondisi darurat menjelang persalinan. Pada Senin, 17 November 2025, dini hari, ia dibawa oleh keluarga menggunakan speedboat ke RSUD Yowari. Dengan alasan keterbatasan fasilitas ditolak masuk, dan kemudian Irene dirujuk ke RS Abepura di Kota Jayapura. Ibu yang sedang bermasalah kesehatan ini terus ditolak, dari RS Abepura ke RS Dian Harapan, lalu ke RS Bhayangkara, hingga mengembuskan napas terakhir dalam perjalanan ke rumah sakit kelima, yakni RS Dok II Jayapura. Tidak hanya Irene, bayi yang dikandungnya pun tidak tertolong.
Keluarga yang ditinggal tentu sangat berduka. Jika rumah sakit yang didatangi mau berempati, niscaya ujung ceritanya akan lain. Namun, akibat sikap rumah sakit yang kaku dan tidak memiliki kepekaan untuk menolong sesama, Irene pun akhirnya menjadi korban.
Kalau merujuk pada aturan yang berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, di sana dengan tegas dinyatakan bahwa warga negara berhak atas layanan kesehatan dan negara wajib menyediakannya. Dalam UU Kesehatan itu juga disebutkan bahwa rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat darurat tanpa memandang status administrasi, kemampuan membayar, atau alasan lainnya.
Aturan yang dengan tegas meregulasi bagaimana rumah sakit harus bersikap terhadap pasien seperti Irene Sokoy, ternyata hanya macan di atas kertas. Irene jelas bukan korban satu-satunya. Bukan tidak mungkin masih banyak ‘Irene’ lain yang mengalami nasib sama. Ketika rumah sakit lebih mengedepankan pertimbangan komersial dan melalaikan tanggung jawab kemanusiaan, maka jangan heran jika orang kecil seperti Irene harus menanggung penderitaan karena ketidakmampuannya.
Bandingkan dengan rumah sakit pemerintah di Australia, misalnya. Ketika tim SDG’s dari Universitas Airlangga tahun 2024 lalu berkunjung ke Melbourne, diketahui bahwa di rumah sakit milik pemerintah daerah itu ternyata kamar-kamar yang tersedia tanpa kelas. Tidak ada kelas VIP, kelas ekonomi, atau kelas apa pun. Semua kamar sama. Dari penjelasan salah satu perawat diketahui bahwa di rumah sakit itu, semua pasien--tidak peduli pejabat, gelandangan, atau orang biasa--semua memiliki hak dirawat di kamar dengan standar layanan yang sama. Di mata petugas layanan kesehatan, semua pasien adalah orang yang berhak mendapatkan layanan terbaik –tidak peduli status sosial-ekonomi pasien yang bersangkutan.
Di Indonesia, mengacu pada pengalaman Irene, tampaknya justru bertolak belakang. Alih-alih mendapatkan layanan kesehatan dengan cepat dan sama rasa, ternyata orang-orang seperti Irene yang secara sosial-ekonomi dari kelompok menengah ke bawah, mereka cenderung diperlakukan tidak adil. Meskipun kesehatan dan nyawa mereka sedang dipertaruhkan, dengan alasan keterbatasan fasilitas dan kemampuan ekonomi korban, maka rumah sakit pun seolah berhak memilih pasiennya.
Kasus yang dialami Irene adalah puncak gunung es dari layanan lembaga kesehatan di Tanah Air yang perlu dibongkar. Bisa dipastikan, kasus Irene adalah salah satu kasus saja. Karena luput dari pemberitaan, seolah kasus seperti itu tidak terjadi di tempat yang lain. Sebagian orang mungkin menerima nasib dan tidak mempersoalkan meski anggota keluarganya diperlakukan diskriminatif dalam memperoleh layanan kesehatan. Sebagian yang lain mungkin frustrasi dan merasa tidak ada gunanya protes soal perlakuan yang tidak adil. Tragedi demi tragedi terus terjadi, dan korban pun terus berjatuhan –tanpa ada upaya yang serius untuk membenahi sistem pelayanan kesehatan di Indonesia yang kaku.
MENCEGAH
Dari perspektif rumah sakit, tindakan menolak pasien mungkin terpaksa dilakukan karena sejumlah alasan. Mungkin saja sebuah rumah sakit menolak pasien karena keterbatasan sumber daya, peralatan medis, tenaga kesehatan, dan ruang perawatan. Bisa pula sebuah rumah sakit menolak pasien karena status BPJS atau pasien tidak memiliki kartu BPJS, karena dari sisi ekonomi, rumah sakit tersebut tidak mampu menanggung biaya perawatan pasien miskin yang tidak memiliki asuransi atau kemampuan membayar.
Di sejumlah rumah sakit, sering pula terjadi mereka harus menolak pasien karena terikat oleh regulasi dan birokrasi yang membatasi kemampuan mereka untuk memberikan perawatan kepada pasien miskin. Di berbagai daerah, sering terjadi seorang pasien dikirim pulang begitu saja walaupun baru selesai operasi besar, karena aturan yang berlaku tidak memungkinkan mereka menanggung biaya perawatan pasien BPJS secara berkepanjangan.
Untuk mencegah agar kasus Irene tidak kembali terjadi, ada sejumlah langkah yang perlu dipertimbangkan. Pertama, meningkatkan akses pasien ke asuransi kesehatan yang lebih baik. Kedua, meningkatkan kapasitas sumber daya rumah sakit, seperti peralatan medis dan tenaga kesehatan yang cukup. Ketiga, mengatur regulasi untuk memastikan rumah sakit wajib memberikan perawatan kesehatan kepada pasien miskin tanpa hambatan.
Tanpa ada kesungguhan dan komitmen dari pemerintah, sulit dibayangkan kasus Irene tidak kembali terulang. Semoga kasus Irene menjadi tragedi terakhir di Republik tercinta ini. Membangun empati rumah sakit kepada pasien mutlak dibutuhkan agar tragedi kemanusiaan seperti yang dialami Irene tidak terjadi lagi.

3 hours ago
2
































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5365168/original/090343300_1759140108-WhatsApp_Image_2025-09-29_at_17.00.24.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1096855/original/091939700_1451387555-Nunung_Srimulat-2.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5364853/original/046358800_1759128662-462a26d0-2645-4809-88b5-48611f626139.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5352887/original/013654100_1758144467-AP25260720491829.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5348836/original/064698500_1757902947-ClipDown.com_536149216_18672569230011649_1930765662361117681_n.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4757356/original/067911600_1709187898-20240229-Bayi_Tahun_Kabisat-HER_1.jpg)