
Pengamat energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mendesak pemerintah membatalkan rencana impor bahan bakar minyak (BBM) satu pintu yang hanya melalui PT Pertamina (Persero). Ia menilai wacana ini akan menjadi blunder besar karena berpotensi merugikan investor asing yang telah menanamkan modal untuk membangun stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Indonesia.
Menurut Fahmy, kebijakan ini akan memaksa SPBU asing seperti Shell dan BP membeli BBM dengan harga yang ditentukan Pertamina. Konsekuensinya, ruang keuntungan mereka tergerus tajam.
“Pemerintah sebaiknya membatalkan rencana kebijakan impor BBM satu pintu, karena justru akan menjadi kebijakan blunder,” tegasnya dalam keterangan resmi, Senin (15/9).
Fahmy menilai langkah pemerintah ini menunjukkan arah mundur: dari sistem liberalisasi yang memberi keleluasaan penuh pada pelaku usaha, menuju sistem terkendali (regulated) yang kaku.
Padahal, sambungnya, investor asing sejak awal mau menanam modal di SPBU Indonesia karena iklim bisnis yang liberal. Mereka bebas mendirikan SPBU, mengimpor BBM sesuai kuota, sekaligus menentukan sendiri harga jual ke konsumen berdasarkan mekanisme pasar.
Dengan kebijakan impor BBM satu pintu, kebebasan itu hilang. SPBU asing tak lagi bisa mencari sumber impor termurah atau melakukan efisiensi biaya. Semua dipaksa membeli dari Pertamina dengan harga sepihak. Akibatnya, margin keuntungan terus menyusut dan berisiko berubah menjadi kerugian permanen.
“Dalam kondisi itu, kerugian yang berkelanjutan bisa membuat SPBU asing tumbang dan menutup usahanya,” ujar Fahmy.
Dampak domino yang dikhawatirkan lebih luas: hengkangnya SPBU asing akan merusak iklim investasi nasional, bukan hanya di sektor migas, melainkan juga di sektor bisnis lainnya. Iklim investasi yang memburuk pada akhirnya bisa menjadi penghalang serius bagi target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dipatok Presiden Prabowo. (Z-10)