Hi!Pontianak - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersama Komisi XIII DPR RI sukses menggelar kegiatan sosialisasi bertajuk 'Urgensi Perlindungan Saksi dan Korban dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana' di Pendopo Gubernur Kalimantan Barat pada Jumat, 10 Oktober 2025.
Kegiatan ini dihadiri oleh Wakil Ketua LPSK Mahyudin, Anggota Komisi XIII DPR RI Franciscus Maria Agustinus Sibarani, Sekretaris Jenderal LPSK Sriyana, dan perwakilan pemerintah daerah Kalimantan Barat. Kegiatan ini juga dihadiri peserta dari berbagai unsur, mulai dari aparat penegak hukum, pemerintah daerah, akademisi, pendamping korban, lembaga bantuan hukum, media, hingga masyarakat sipil.
LPSK menyoroti masih terbatasnya akses masyarakat Kalimantan Barat terhadap layanan perlindungan saksi dan korban. Pada tahun 2024, LPSK menerima 108 permohonan perlindungan dari wilayah Kalimantan Barat, dengan sebaran terbanyak berasal dari Kota Pontianak (58 permohonan) dan Kabupaten Kubu Raya (16 permohonan). Sebagian besar permohonan berasal dari kasus kekerasan seksual terhadap anak (67 kasus), disusul tindak pidana pencucian uang, penganiayaan berat, dan tindak pidana lainnya.
“Setiap permohonan menunjukkan keberanian seseorang untuk melapor dan mencari perlindungan. Itu adalah langkah penting saksi dan korban mendapat keadilan,” kata Mahyudin.
Ia menambahkan, masih banyak korban yang belum berani melapor ke LPSK karena rasa takut, stigma, atau belum mengetahui bahwa perlindungan hukum adalah hak yang dijamin undang-undang.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi XIII DPR RI, Franciscus Maria Agustinus Sibarani menilai perlindungan terhadap saksi dan korban di daerah masih menghadapi berbagai tantangan. Ia menegaskan komitmen DPR RI melalui Komisi XIII untuk memperkuat sistem perlindungan tersebut melalui pembahasan RUU Perubahan Kedua atas UU Nomor 13 Tahun 2006, yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
“Penguatan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban penting agar sistem perlindungan semakin kokoh menyentuh aspek kelembagaan, dukungan anggaran, dan koordinasi lintas sektor,” tegas Franciscus.
Ia juga menekankan bahwa perlindungan saksi dan korban bukan hanya tugas LPSK, tetapi merupakan tugas lembaga bersama.
Secara nasional, LPSK mencatat terdapat peningkatan signifikan jumlah permohonan perlindungan, yaitu 10.217 permohonan pada 2024, naik 34 persen dibanding tahun sebelumnya. Namun, angka itu masih jauh dari 584.991 kasus kejahatan yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023. Permohonan ke LPSK tertinggi berasal dari kasus tindak pidana pencucian uang (2.017), diikuti pelanggaran HAM berat (1.620), perdagangan orang (981), dan kekerasan seksual (581).
“Peningkatan ini menunjukkan kepercayaan publik terhadap LPSK terus tumbuh, tapi juga menunjukkan adanya kesenjangan karena masih banyak korban yang belum bisa menjangkau layanan perlindungan,” kata Mahyudin.
Ia menambahkan, perlindungan yang diberikan LPSK tidak hanya menyangkut keamanan fisik, tetapi juga pemenuhan hak prosedural, perlindungan hukum, bantuan medis dan psikologis, serta rehabilitasi sosial.
“Perlindungan bukan hanya tentang menjaga keselamatan, tetapi memastikan saksi dan korban bisa pulih dan berani bersuara. Itulah bentuk keadilan yang ingin kami jaga,” ujarnya.
Mahyudin juga menyoroti pentingnya upaya preventif melalui edukasi dan partisipasi masyarakat. Salah satunya lewat program Sahabat Saksi dan Korban (SSK) yang kini telah tersebar di 14 provinsi, termasuk 58 relawan aktif di Kalimantan Barat yang membantu masyarakat mengenal dan mengakses layanan LPSK.