Bimbang Pemelajar Bahasa Arab: Mengapa Kita Fasih Teori, tapi Gagap Bicara?

3 hours ago 2
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Guru sedang mengajar bahasa Arab. Sumber: Pixabay

Kita sering melihat ironi santri atau mahasiswa yang nilai Bahasa Arab-nya sempurna, hafal mati Alfiyah Ibnu Malik, tetapi mendadak tergagap-gagap saat diajak bicara oleh penutur asli. Fenomena 'Jago Kandang' ini bukan karena mereka bodoh, melainkan ada yang salah dalam cara otak dan mental mereka memproses bahasa. Tak jarang, saat guru masuk ke kelas dan berbicara menggunakan bahasa Arab, tiba-tiba satu kelas hening. Mereka paham dengan apa yang dimaksud oleh guru, tetapi belum tentu mampu membalasnya dengan bahasa Arab yang lancar. Bukan karena tidak tahu ilmunya. Banyak dari mereka yang mempunyai hafalan kosakata ribuan hingga nilai ujian tata bahasa (qawaid) yang sempurna. Namun, semua itu rontok seketika saat harus mengobrol layaknya penutur asli. Skor tes profisiensi tinggi ternyata sering kali hanya angka di atas kertas, bukan jaminan praktik di dunia nyata. Mengapa ini terjadi? Menelisik Alasan di Balik Gagap Omong Dalam kacamata psikolinguistik, "musuh" utamanya acap kali bukan kebodohan. Ada yang disebut sebagai language anxiety atau kecemasan berbahasa. Ibarat komputer, working memory (memori kerja) otak kita jadi 'nge-lag' karena kewalahan memikirkan rumus tata bahasa, ketakutan salah, hingga bingung menyusun kalimat. Akibatnya, produksi suara terblokir, padahal tentu bahannya sudah ada di kepala. Namun, mengapa pemelajar bahasa Arab takut salah? Apakah karena doktrin bahwa "Bahasa Arab adalah bahasa Al-Quran" sehingga salah omong dianggap dosa besar? Jika kita bandingkan dengan pemelajar bahasa Inggris, salah grammar paling hanya ditertawakan. Beda lagi dengan bahasa Arab yang kalau salah i'rab (perubahan harakat akhir), bisa mengubah makna. Ketakutan "sakral" ini yang barangkali bikin kecemasan makin parah. Tidak hanya itu, adanya campur aduk dari bahasa ibu atau First Language (L1) dengan bahasa kedua yang tengah dipelajari juga membuat otak bingung. Misalnya, struktur kalimat bahasa ibu memiliki perbedaan mendasar dengan bahasa Arab, bahkan bahasa Indonesia pun demikian. Struktur S-P-O-K dalam bahasa Indonesia berbeda dengan pola Jumlah Fi’liyah (Kata Kerja di awal) dalam bahasa Arab. Perbedaan sintaksis ini memaksa otak bekerja dua kali lebih keras. Belum lagi contoh percakapan alami yang minim. Analoginya, seorang yang ingin jadi koki memang tahu resep soto ayam yang enak, tetapi ia tidak bisa langsung masak. Butuh beberapa bahan dan yang terpenting keterampilan meracik yang lihai. Dikotomi Kompetensi dengan Performansi Itulah yang membuat geger dunia linguistik. Kompetensi telah mapan, tetapi praktiknya nol. Sampai akhirnya, Noam Chomsky mengemukakan pendapatnya bahwa kompetensi tidak sama dengan performansi. Hafal kosakata asing tidak sama dengan bisa langsung bicara. Chomsky membedakan apa yang kita tahu (kompetensi) dengan apa yang kita lakukan (performansi). Dikotomi ini mengubah arah pandang linguistik. Kompetensi dianggap bersemayam di dalam pikiran saja. Sementara performansi tecermin dalam aktivitas berbahasa yang dilakukan oleh si penutur. Sayangnya, pembelajaran bahasa Arab di Indonesia, khususnya di madrasah dari tingkat rendah hingga tinggi, masih mengandalkan qawaid sebagai satu-satunya pelajaran yang wajib dikuasai oleh murid.

Melihat tantangan dunia saat ini, tentu pelajaran qawaid saja belum cukup. Dunia yang makin berputar cepat dan apa yang disebut sebagai globalisasi menuntut setiap orang agar memiliki kecakapan berbahasa asing. Hal itu supaya mereka dapat berkomunikasi dengan orang dari seluruh negara. Namun, kurikulum bahasa Arab nasional kita masih berfokus pada teori semata meski klaimnya ingin mencetak lulusan yang terampil. Sejauh mata memandang, praktiknya masih mengukur performansi pada level rendah, seperti hafalan dan pilihan ganda yang tidak berbobot. Pembelajaran rasa-rasanya lebih menitikberatkan pada “pengetahuan” dibanding “aktivitas”. Singkatnya, masalah kurikulum kita adalah terlalu memuja kompetensi (teori) dan melupakan performansi (praktik). Mengapa? Boleh jadi karena metode klasik yang masih terus digunakan, sedangkan metode pembelajaran terbaru telah lebih mementingkan praktik. Metode qawaid wa tarjamah (tata bahasa terjemah) merupakan warisan lama yang tujuan akhirnya adalah membaca, bukan bicara. Seperti yang sudah disinggung di atas, qawaid tidak lagi cukup dengan benturan realitas pada zaman sekarang. Obsesi pada Teks, Melupakan Konteks Jika ditelusuri akar masalahnya, dominasi qawaid (kompetensi) ini tidak lepas dari sejarah pendidikan Islam di Nusantara. Bahasa Arab dipelajari semata-mata sebagai alat bedah teks selama berabad-abad. Tujuannya mulia ialah agar santri bisa membaca dan memahami Kitab Kuning atau literatur turats tanpa harakat. Dalam konteks ini, kesalahan i'rab adalah aib besar karena bisa membelokkan makna teologis. Tidak heran jika mindset "haram hukumnya salah gramatikal" ini terbawa hingga ke kelas-kelas percakapan (muhadatsah). Guru, yang juga produk dari sistem lama, secara tidak sadar menjadi "polisi bahasa". Setiap kali murid baru membuka mulut mengucap "Fatimah yadzhabu", guru langsung memotong, "Salah! Harusnya Fatimah tadzhabu!". Koreksi prematur inilah yang membunuh performansi murid sebelum sempat berkembang. Hal itu bertentangan dengan Chomsky yang mengingatkan bahwa performansi butuh ruang toleransi untuk tumbuh. Ur...

Read Entire Article