Guru bukan Klerk

1 day ago 9
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Guru bukan Klerk (Dok. Pribadi)

MENGAJAR di abad ke-21 bukan lagi aktivitas statis yang sekadar memindahkan pengetahuan dari guru ke murid. Ia adalah proses dinamis yang terus berubah, seiring perubahan sosial, teknologi, dan tuntutan kebijakan pendidikan. Perubahan yang konstan ini memengaruhi teori belajar, tujuan pendidikan, sekaligus melahirkan berbagai tantangan serius bagi guru-pendidik (Zakaria et al, 2021).

Namun, di tengah tuntutan profesional yang kian kompleks, pernahkah kita bertanya: apakah sistem pendidikan sungguh-sungguh merawat guru sebagai pendidik, atau justru menguras mereka sebagai pelaksana kebijakan?

Di banyak belahan dunia, profesi guru kerap berada dalam situasi yang menegangkan. Penelitian menunjukkan bahwa guru sering mengalami stres kerja akibat beban tugas yang berlebihan, konflik peran, serta tekanan birokrasi yang tidak kunjung terselesaikan (Buskila dan Chen-Levi, 2021; Jepson dan Forrest, 2006). Kepuasan kerja dan beban kerja menjadi dua isu ‘panas’ yang terus menghantui dunia pendidikan, baik di negara maju maupun berkembang.

Tidak sedikit guru mengeluhkan ketidakpuasan dalam menjalankan tugas karena kebutuhan profesional dan kesejahteraan mereka tidak terpenuhi. Lingkungan kerja yang tidak sehat, komunikasi yang buruk, praktik birokrasi yang kaku, budaya menyalahkan, serta tekanan untuk ‘mengejar angka’ prestasi murid—bahkan dengan cara yang bertentangan dengan nurani pedagogis—membuat guru merasa tidak nyaman dan teralienasi dari makna pekerjaannya (Zakaria et al, 2021). Guru juga menanggung beban administratif berlebihan, dari laporan harian hingga pengisian berbagai instrumen, yang berujung pada stres, frustrasi, dan kelelahan intelektual.

Dalam kondisi seperti ini, guru kerap direduksi menjadi sekadar klerk birokrasi, bukan diperlakukan sebagai knowledge worker, pendidik, peneliti, dan agen perubahan di sekolah serta masyarakat (Buskila dan Chen-Levi, 2021). Situasi ini tidak hanya merugikan guru, tetapi juga menggerus mutu pembelajaran dan merapuhkan relasi pendidikan. Kondisi ini menunjukkan bahwa persoalan guru tidak berhenti pada aspek teknis pengajaran, tetapi menyentuh juga dimensi kesejahteraan yang lebih mendasar.

MENGAPA HARUS SEJAHTERA?

Persoalan kesejahteraan guru menjadi krusial karena kualitas pendidikan tidak pernah dapat dipisahkan dari kondisi manusia yang menjalankannya. Berbagai studi menunjukkan bahwa guru akan merasa lebih puas dan termotivasi apabila kesejahteraan serta lingkungan kerjanya diperhatikan pimpinan sekolah. Guru yang sejahtera—secara emosional, psikologis, dan sosial—lebih mampu menikmati kehidupan kerjanya, dan kondisi ini berdampak langsung pada kualitas pembelajaran yang diterima murid (Zakaria et al, 2021).

Kesejahteraan juga berkaitan erat dengan jaringan dukungan sosial di tempat kerja. Sekolah yang mampu membangun relasi kerja yang sehat, kolaboratif, dan saling mendukung akan melahirkan guru-guru yang lebih tangguh dalam menghadapi tekanan profesi. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kesejahteraan itu sendiri.

APA ITU KESEJAHTERAAN?

Konsep kesejahteraan dapat dikaji dari berbagai disiplin, mulai dari filsafat, ekonomi, hingga psikologi. Dalam psikologi, kesejahteraan menjadi fondasi berkembangnya psikologi positif—sebuah pendekatan yang tidak hanya berfokus pada gangguan dan kelemahan manusia, tetapi juga pada potensi, kekuatan, dan makna hidup.

Secara historis, gagasan tentang kesejahteraan telah lama dibahas dalam tradisi pemikiran Islam, khususnya melalui kajian falsafah tentang kebahagiaan dan jiwa manusia. Para ilmuwan Muslim pada masa keemasan Islam (abad ke-8 hingga ke-13) mengembangkan pemikiran psikologis jauh sebelum psikologi modern berkembang di Barat (Rassool dan Luqman 2023). Namun, psikologi abad ke-20 di Amerika dan Eropa cenderung memisahkan ilmu pengetahuan dari filsafat dan agama sehingga banyak warisan intelektual non-Barat terpinggirkan (Pasha-Zaidi, 2021).

Kini, dalam psikologi abad ke-21, pendekatan yang lebih integratif mulai berkembang. Nilai-nilai kemanusiaan, etika, spiritualitas, dan konteks budaya kembali mendapat tempat dalam kajian kesejahteraan (Rassool, 2021). Ini membuka ruang lebih luas untuk memandang kesejahteraan guru secara utuh, tidak semata-mata sebagai kondisi ‘bebas stres’, melainkan sebagai proses pemaknaan diri dalam profesi.

HEDONIS, EUDAIMONIS, DAN GURU

Pemahaman tentang kesejahteraan dalam psikologi modern tidak bersifat tunggal, tetapi berkembang melalui beberapa pendekatan utama. Pendekatan hedonic menekankan kebahagiaan sebagai kesenangan dan kepuasan hidup, sementara pendekatan eudaimonic memandang kesejahteraan sebagai realisasi potensi diri dan kehidupan yang bermakna.

Bagi guru, kesejahteraan tidak cukup dimaknai sebagai kenyamanan atau insentif material. Ia berkaitan dengan makna profesi, otonomi pedagogis, relasi yang sehat, serta kesempatan untuk terus bertumbuh sebagai pendidik. Carol Ryff merumuskan enam dimensi kesejahteraan: penerimaan diri, relasi positif, otonomi, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, dan tujuan hidup (Akfirat, 2020). Kerangka ini membantu melihat kesejahteraan guru sebagai pengalaman profesional yang utuh dan bermakna.

KESEJAHTERAAN DAN MUTU PENDIDIKAN

Pertanyaan berikutnya ialah bagaimana kesejahteraan guru berkelindan langsung dengan mutu pendidikan di sekolah. Penelitian menunjukkan bahwa kesejahteraan guru berhubungan langsung dengan performa murid. Guru dengan kepuasan kerja tinggi dan kesehatan psikologis baik cenderung mengajar secara kreatif, efektif, dan menantang (Adeka dan Mede, 2020).

Di sekolah, kesejahteraan emosional guru dapat dikembangkan melalui penguatan kecerdasan emosi: kesadaran diri, pengelolaan emosi, kesadaran sosial, keterampilan relasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab (Buskila dan Chen-Levi, 2021). Kepemimpinan kepala sekolah memegang peran kunci dalam membangun ekosistem ini.

MARTABAT PROFESI

Lebih jauh lagi, kesejahteraan guru tak hanya soal efektivitas kerja, tetapi juga menyangkut keberlanjutan dan martabat profesi pendidikan itu sendiri. Guru yang terus berada dalam tekanan psikologis berisiko mengalami burnout

, kehilangan makna kerja, dan menarik diri dari dunia pendidikan. Sebaliknya, sekolah yang memberi ruang refleksi, dialog profesional, dan dukungan sosial memadai akan melahirkan guru yang resilien (Holmes, 2005; Riva et al, 2020).

Kesejahteraan guru pada akhirnya adalah soal martabat profesi. Guru bukan sekadar pelaksana kebijakan, melainkan subjek utama pendidikan yang memerlukan ruang otonomi, dukungan, dan pengakuan. Jika sekolah ingin murid belajar dengan baik, guru harus terlebih dahulu diperlakukan secara manusiawi. Wallaahu ‘alam bishshawaab

.

Read Entire Article