
Kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook yang menjerat mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) periode 2019-2024, Nadiem Makarim, dinilai sarat kejanggalan dan berpotensi menjadi bentuk kriminalisasi kebijakan publik.
Advokat senior Todung Mulya Lubis menilai langkah penetapan tersangka terhadap Nadiem tidak memiliki dasar hukum kuat jika merujuk pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Menurutnya, unsur utama dalam pasal tersebut adalah tindakan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang menyebabkan kerugian keuangan negara.
“Apa yang dilakukan Nadiem Makarim adalah bentuk kebijakan publik, bukan tindakan memperkaya diri sendiri. Jadi tidak bisa serta-merta dikriminalisasi, kecuali memang ada unsur self-enrichment,” ujar Todung dalam keterangannya, Sabtu (11/10).
Ia juga tidak melihat adanya indikasi bahwa kebijakan pengadaan laptop tersebut dimaksudkan untuk menguntungkan pihak lain. Todung menegaskan, penting bagi aparat penegak hukum untuk berhati-hati agar proses hukum tidak berubah menjadi kriminalisasi kebijakan, yang justru dapat menimbulkan preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan.
Todung memperingatkan bahwa kecenderungan kriminalisasi kebijakan dapat berdampak jangka panjang bagi kualitas kepemimpinan di Indonesia. Ia menilai, jika pejabat publik terus dihantui risiko hukum atas kebijakan yang bersifat inovatif, maka banyak tokoh cerdas dan berintegritas enggan mengabdi di pemerintahan.
“Kalau ini terus terjadi, orang-orang baik dan pintar akan memilih bekerja di luar negeri. Ini bisa memicu brain drain atau eksodus para intelektual,” ungkapnya.
Todung menilai kebijakan pengadaan Chromebook merupakan bagian dari visi Nadiem dalam memperkuat literasi digital nasional, sejalan dengan arah transformasi pendidikan global. Gagasan ini, katanya, sudah lama menjadi bagian dari komitmen Nadiem bahkan sebelum menjabat sebagai menteri, terbukti dari kiprahnya membangun ekosistem digital melalui Gojek.
Kebijakan tak Bisa Dipidanakan Selama tak Ada Unsur Melawan Hukum
Todung menekankan bahwa seorang menteri memiliki hak dan tanggung jawab untuk membuat kebijakan publik selama kebijakan itu tidak melanggar hukum, telah melalui proses deliberasi, dan tidak menimbulkan keuntungan pribadi. Karena itu, menurutnya, penetapan tersangka berdasarkan penilaian bahwa kebijakan tersebut “tidak tepat” merupakan langkah yang keliru.
“Ketika menjadi menteri, Nadiem sudah memiliki visi agar siswa Indonesia memahami bahasa Inggris, coding, komputer, dan internet — karena dunia digital akan menjadi bagian penting dalam kehidupan masa depan,” tutur Todung.
Ia menilai Indonesia membutuhkan pemimpin yang berani mengambil risiko dan membuat kebijakan progresif tanpa takut dijerat pidana. Kasus yang menimpa Nadiem, lanjutnya, menjadi pengingat bahwa inovasi dalam kebijakan publik bisa disalahartikan jika tidak dilihat secara proporsional.
Todung termasuk salah satu dari 12 tokoh antikorupsi yang menyerahkan pendapat hukum dalam bentuk Amicus Curiae kepada majelis hakim Praperadilan Nadiem Makarim. Langkah ini bertujuan untuk mendorong reformasi sistem praperadilan di Indonesia, khususnya dalam aspek penetapan tersangka yang sering dinilai kurang transparan dan berpotensi disalahgunakan.
“Kasus ini seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola penegakan hukum, bukan memperburuk kepercayaan publik terhadap aparat hukum,” tutup Todung. (E-3)