DI bawah langit Sepaku yang teduh, aroma tanah basah berpadu dengan semangat baru dari hamparan bibit kopi yang baru ditanam. Jumat (10/10) siang kemarin, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) Basuki Hadimuljono tampak tersenyum lebar ketika tangannya menancapkan bibit kopi Liberika ke tanah.
“Ini emas hijau baru Kalimantan Timur,” ujarnya bersemangat.
Kopi Liberika yang sempat terlupakan kini kembali mendapat panggung. Bahkan, menurut Basuki, kopi lokal Sepaku ini sudah dilirik pasar internasional.
“Kopi Liberika lokal ini telah meraup permintaan ekspor fantastis hingga 20 kontainer dari Qatar,” ungkapnya bangga.
Menghidupkan Kembali Warisan Kopi 1981
Program penanaman 1.010 bibit kopi Liberika di IKN bukan sekadar seremoni. Kegiatan ini merupakan bagian dari inisiasi bersama Bank Indonesia (BI) dan Komunitas Petani Kopi Liberika Sepaku, yang dipimpin oleh Sugiman.
Tujuannya sederhana namun bermakna: menghidupkan kembali kopi Liberika yang sudah ada sejak 1981, kopi yang dulu tumbuh subur di Sepaku sebelum perlahan tergeser oleh popularitas Arabika dan Robusta.
“Kopi ini tahan banting,” kata Sugiman, sembari tersenyum di sela barisan tanaman muda.
“Liberika bisa tumbuh di segala medan dan cuaca. Ia tahan penyakit, termasuk penyakit gambir. Tidak rewel seperti kopi lainnya.”
Basuki pun mengamini keunggulan itu. Menurutnya, Liberika memiliki karakter unik di antara dua jenis kopi populer. “Rasanya pas di tengah, tidak sekeras Robusta, tidak seasam Arabika. Kami punya 2.000 hektar lahan untuk ditanami Liberika, dan ini baru permulaan,” tutur Basuki.
Permintaan Dunia, Produksi Masih Mini
Kisah Liberika Sepaku tidak hanya soal cita rasa, tapi juga peluang ekonomi yang menggiurkan. Permintaan dari Qatar mencapai 20 kontainer, namun suplai yang tersedia jauh dari cukup.
“Kami baru bisa produksi sekitar 5,1 ton per tahun dari 17 hektar lahan,” kata Sugiman.
Padahal, satu kontainer bisa menampung hingga 20 ton kopi, artinya permintaan Qatar setara dengan ratusan kali lipat kapasitas produksi mereka saat ini.
Meski begitu, hal ini menunjukkan satu hal penting yaknj Liberika Sepaku diminati pasar global. Cita rasanya khas, aromanya unik, dan punya identitas yang kuat, sebuah peluang besar bagi petani lokal. Di sisi lain, menurut perhitungan komunitas, potensi ekonomi Liberika bahkan lebih tinggi dibandingkan kelapa sawit.
“Lebih jauh, lebih besar dari sawit, Pak,” kata Sugiman mantap.
“Setelah kami hitung, hasilnya lebih menguntungkan. Dan yang penting, ini warisan leluhur kami. Kami ingin bangun brand sendiri, bukan bersaing dengan Arabika atau Robusta.”
Gerakan 10 Pohon: Dari Halaman Rumah ke Dunia
Untuk mengejar ketertinggalan produksi dan menjawab permintaan ekspor, Otorita IKN bersama komunitas petani meluncurkan gerakan tanam massal Liberika.
“Untuk Kelompok Wanita Tani (KWT) dan Dasawisma, setiap anggota wajib menanam minimal 10 pohon,” jelas Sugiman.
Gerakan ini tidak hanya menyasar perkebunan besar, tetapi juga halaman rumah warga. Tujuannya, agar kopi Liberika benar-benar menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Sepaku sekaligus motor penggerak ekonomi hijau di kawasan Ibu Kota Nusantara. Dengan langkah kecil menanam bibit, warga Sepaku sedang menanam harapan besar. Harapan bahwa suatu hari, aroma kopi dari tanah mereka tak hanya semerbak di Nusantara, tapi juga memenuhi cangkir-cangkir di kafe-kafe dunia. (YN/E-4)