Memuliakan Kaum Lansia di Era Digital

7 hours ago 3
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Memuliakan Kaum Lansia di Era Digital (MI/Duta)

PERINGATAN Hari HAM Internasional 10 Desember 2025 mengangkat tema sangat menggugah, Human rights, our everyday essentials. Itu menjadi pengingat kuat: hak asasi adalah 'kebutuhan sehari-hari'. Hak asasi bukan gagasan besar dalam dokumen internasional, melainkan kebutuhan dasar yang wajib hadir di setiap aspek kehidupan sehari-hari.

IRONI

Ironi muncul ketika menengok kelompok lanjut usia (lansia) di tengah percepatan digital Indonesia. Kelompok yang seharusnya menikmati perlindungan maksimal saat ini justru menghadapi bentuk eksklusi baru yang tidak diperhitungkan oleh negara dan pasar.

Di atas kertas, perlindungan hak lansia sudah kuat. Deklarasi HAM, ICCPR, ICESCR, hingga General Comment No 6 secara tegas menempatkan martabat, kemandirian, dan partisipasi lansia sebagai bagian integral dari HAM. Kerangka global seperti Madrid International Plan of Action on Ageing (MIPAA) dan Deklarasi ASEAN memperluas pesan ini: kelompok lansia berhak atas inklusi penuh, termasuk dalam masyarakat digital.

Di Indonesia, konstitusi dan UU memberikan jaminan: hak atas pelayanan publik, nondiskriminasi, jaminan sosial, pelayanan kesehatan, dan kesempatan mengikuti pelatihan digital. Semuanya telah diakui. Secara hukum, posisi lansia kokoh dan solid.

Namun, justru di sinilah paradoksnya. Digitalisasi Indonesia berlari lebih cepat dibanding kesiapan sosial dan desain kebijakan. Saat ini terjadi bentuk kerentanan baru: algorithmic neglect. Bukan sebab sistem digital sengaja menyingkirkan lansia, melainkan memang karena para perancangnya tidak pernah membayangkan kehadiran lansia sejak awal.

Aplikasi publik dibangun dengan asumsi semua orang bisa membaca cepat, menekan ikon kecil, menafsirkan istilah teknis, serta bergerak dengan ritme digital ala anak muda. Tubuh yang berubah, memori yang melambat, jari yang tak lagi presisi, hingga kecemasan menghadapi layar, semuanya terhapus dari radar sistem. Tak terlacak dan tak teridentifikasi.

Akibatnya, hak-hak yang secara hukum dijamin berubah menjadi hak yang bersyarat. Verifikasi bantuan sosial menjadi menguras energi. Pendaftaran layanan kesehatan menjadi labirin digital. Pengurusan administrasi dokumen hukum menjadi rangkaian langkah yang sulit diikuti. Mobile banking terasa seperti uji ketelitian, bukan layanan finansial. Banyak kelompok lansia akhirnya terpuruk pada self-exclusion: menganggap dirinya 'tidak mampu', merasa akan 'mengganggu', atau takut melakukan kesalahan.

Lantas, atas kondisi seperti ini, dengan mudah label disematkan kepada kelompok lansia: gaptek. Padahal, semua ini bukan kesalahan lansia. Dari awal memang sistem ini tidak didesain untuk keberagaman manusia.

PENYEDIAAN JALUR NONDIGITAL

Digital exclusion ialah bentuk ketidakadilan baru. Hambatannya bukan hanya gawai, melainkan juga campuran kendala kognitif, sensorik, struktural, ekonomi, dan emosional. Karena itu, transformasi digital bagi lansia tidak boleh mengandalkan pendekatan seragam. Tiga prinsip patut menjadi fondasi: design for ageing yang lebih memahami kebutuhan kelompok lansia, slow technology yang lebih memberikan ruang bagi ritme lansia yang secara alamiah memang melambat, dan ethical-by-default yang lebih melindungi privasi dan keamanan data kelompok lansia sebagai kelompok rentan.

Penyediaan jalur nondigital bukan langkah mundur. Ini adalah reasonable accommodation, bentuk penyesuaian wajar agar partisipasi lansia tetap setara. Kaum lansia bukan kelompok homogen: ada yang sangat mahir, ada yang terus belajar, ada yang mustahil menggunakan teknologi karena hambatan fisik atau kognitif. Sistem yang baik selalu menyediakan pilihan.

Demi menyongsong 2045 sebagai aging population country, Indonesia tidak bisa lagi memandang isu lansia sebagai 'nanti juga bisa diatur'. Pendekatan digital-first yang tidak inklusif hanya akan melahirkan krisis sosial: ketergantungan yang meningkat, keterputusan antargenerasi, dan hak-hak warga negara yang terdistorsi oleh teknologi.

Pada titik ini, apa yang sebenarnya harus dilakukan? Ada tiga ruang intervensi yang paling strategis, tapi sering luput ditengok.

Pertama, titik desain teknologi. Pembuat aplikasi publik harus membalik cara berpikir: dari kelompok lansia lalu ke pengguna lain, bukan sebaliknya. Begitu kaum lansia dimasukkan sejak awal, banyak masalah hilang dengan sendirinya: ukuran huruf, ritme navigasi, alur instruksi, jalur bantuan, semuanya akan lebih manusiawi bagi semua kelompok umur.

Kedua, titik pendampingan sosial. Yang efektif bukan pelatihan massal, melainkan pendampingan yang tumbuh dari ruang sosial yang sudah akrab bagi lansia: posyandu kaum lansia, karang werda, relawan kampung, atau kader kesehatan. Di ruang-ruang ini, rasa aman terbentuk dan adaptasi bisa berlangsung secara bertahap. Indonesia memiliki jaringan sosial yang kuat, hanya perlu menyalakan fungsi baru: membuka ruang literasi digital bagi kelompok lansia.

Ketiga, titik penghubung antarsektor. Ada kebutuhan besar akan aktor-aktor yang menjembatani teknologi dan kehidupan sehari-hari kelompok lansia. Perbankan, rumah sakit, dan layanan publik berbasis aplikasi perlu mulai menyediakan human support desk khusus kelompok lansia. Bukan sekadar call center standar, melainkan juga layanan dengan tempo lebih lambat, bahasa lebih sederhana, dan bantuan langsung dalam menyelesaikan proses digital yang rumit. Inovasi semacam ini bukan klise, ini perubahan nyata yang memotong hambatan sekaligus membangun kepercayaan.

Pada akhirnya, tujuan besarnya bukan menjadikan kaum lansia 'ahli digital', melainkan memastikan mereka tetap menjadi warga negara yang martabatnya tidak dipangkas oleh algoritma. Modernisasi yang benar bukan meninggalkan yang paling lambat, melainkan yang mampu menyesuaikan ritmenya agar semua bisa berjalan bersama.

MENGHORMATI RITME MANUSIA YANG MENUA

Jika bangsa ini sungguh ingin menyongsong Indonesia emas 2045, satu hal harus berani diletakkan di pusat imajinasi: membangun masa depan digital yang tetap menghormati ritme manusia yang menua. Indonesia memiliki peluang langka untuk menunjukkan bahwa kemajuan tidak harus mengorbankan martabat. Peradaban yang matang bukan diukur dari kecepatan algoritma, melainkan dari cara teknologi melindungi mereka yang paling rentan.

Transformasi digital yang manusiawi hanya lahir ketika lansia tidak lagi diperlakukan sebagai catatan kaki, tetapi sebagai salah satu poros penentu arah. Di titik inilah Indonesia bisa membuktikan bahwa modernitas tidak harus congkak dan kemajuan tidak harus menyingkirkan siapa pun. Masa depan yang bermartabat bukan dibangun oleh teknologi canggih, tetapi oleh kesediaan memastikan bahwa setiap langkah menuju era digital tetap mengikutsertakan mereka yang paling lambat langkahnya.

Read Entire Article