
PAKAR Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana mengatakan runtuhnya bangunan pondok pesantren yang menelan korban jiwa dan luka-luka dapat menimbulkan konsekuensi hukum serius, baik secara pidana maupun perdata.
“Kasus seperti ini termasuk delik umum. Artinya, polisi dapat langsung melakukan penyelidikan tanpa menunggu laporan dari korban atau keluarga,” kata Satria, Kamis (9/10).
Ia menjabarkan, sejumlah pasal yang bisa diterapkan antara lain Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dan Pasal 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan luka berat atau ringan.
Selain itu, UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, khususnya Pasal 46 ayat (3) dan Pasal 47 ayat (2), juga mengatur pelanggaran terhadap persyaratan teknis bangunan yang dapat dikenai sanksi hukum.
Menurutnya, pertanggungjawaban hukum dapat dikenakan kepada beberapa pihak, tergantung pada hasil penyelidikan komprehensif yang melibatkan kepolisian dan tim ahli teknik sipil maupun konstruksi.
“Pihak yang paling mungkin dimintai pertanggungjawaban meliputi pimpinan atau pemilik pesantren, kontraktor, serta konsultan perencana dan pengawas,” jelasnya.
Satria menjelaskan, pimpinan pondok pesantren sebagai penggagas pembangunan dapat dikenai sanksi pidana apabila pembangunan dilakukan tanpa dokumen resmi seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), serta mengabaikan standar keselamatan.
“Kalau pembangunan dilakukan tanpa izin atau tidak memenuhi standar keselamatan, maka pimpinan pesantren bisa dianggap lalai secara hukum. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bisa berujung pidana,” ujar Satria.
Selain pimpinan pesantren, pelaksana konstruksi juga berpotensi menghadapi sanksi hukum apabila ditemukan kesalahan teknis, perhitungan struktur yang keliru, atau penggunaan material di bawah standar.
“Begitu pula dengan konsultan perencana dan pengawas, yang dapat dimintai pertanggungjawaban jika terbukti lalai dalam perencanaan maupun pengawasan mutu pekerjaan,” jelasnya.
Selain aspek pidana, Satria juga menyoroti potensi gugatan perdata oleh keluarga korban terhadap pihak yang dianggap lalai.
“Dasar gugatan bisa mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH),” ujarnya.
Menurutnya, ganti rugi yang dapat diajukan mencakup kerugian materiil seperti biaya pengobatan, pemakaman, hingga kehilangan penghasilan, serta kerugian immateriil berupa penderitaan mental dan psikologis keluarga korban.
Ia menegaskan, kasus ambruknya bangunan ponpes seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah daerah dan lembaga keagamaan untuk memperketat pengawasan dan memastikan semua proyek pembangunan memenuhi regulasi yang berlaku.
“Keselamatan publik harus menjadi prioritas utama. Kegagalan bangunan bukan hanya persoalan teknis, tapi juga tanggung jawab moral dan hukum,” pungkasnya. (Dev/M-3)