(MI/Duta)
HARI Guru Nasional tahun ini tidak benar-benar berakhir pada seremoni dan ucapan terima kasih. Ia seolah terhenti, lalu berubah arah, ketika sehari setelahnya bencana besar datang tanpa permisi. Rabu dini hari, 26 November 2025, setelah hampir sepekan hujan turun tanpa jeda—pagi, siang, dan malam—tanah ini akhirnya menyerah.
Air dari gunung meluncur deras, seperti berlomba mencari laut, menyapu apa pun yang dilewatinya. Rumah, tiang listrik, perahu nelayan, mobil, bahkan kendaraan berat, hilang dalam hitungan jam. Hanya akar-akar pohon yang bertahan, seakan menjadi saksi terakhir bahwa kehidupan pernah berjejak di sana.
Di titik inilah sekolah kehilangan bangunannya, tetapi justru menemukan kembali perannya: sebagai ruang pulih, ruang mendengar, dan ruang bertahan pascabencana. Pada hari itu, makna guru tidak lagi berdiri sebagai profesi, melainkan sebagai manusia yang ikut rapuh dan belajar bertahan bersama murid-muridnya.
DATA DAN DUKA
Peristiwa itu terasa seperti mimpi di siang bolong, tetapi angka-angka memaksa kami kembali ke kenyataan. Laporan sementara mencatat sekitar 200.117 jiwa mengungsi ke berbagai titik pengungsian di seluruh kecamatan. Sebanyak 68.461 kepala keluarga mengalami rumah terendam. Hingga 3 Desember 2025, pukul 21.00 WIB, tercatat 447 titik pengungsian masih aktif menampung warga (Serambinews.com).
Angka-angka ini bukan sekadar statistik administratif, melainkan potret duka yang hidup. Di balik setiap bilangan, ada cerita tentang kehilangan, keterpisahan, kecemasan, dan ketidakpastian yang harus dijalani tanpa aba-aba. Data pun berhenti menjadi abstraksi; ia berubah menjadi wajah, nama, dan cerita yang kami kenal sehari-hari.
SEKOLAH TERDAMPAK
Keluarga besar Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe turut berada di pusaran bencana itu. Hampir seluruh warga sekolah terdampak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Guru, staf, dan siswa merasakan bagaimana bencana menjalar ke setiap sisi kehidupan. Selama hampir sepekan, komunikasi dan akses lumpuh total.
Beberapa dari kami bahkan harus berjuang di antara hidup dan mati. Setiap orang menyimpan trauma, luka, dan duka masing-masing. Namun, ketika cerita-cerita itu mulai dibagikan, sekolah perlahan menjelma menjadi ruang penguat. Dalam keterbatasan, kami belajar hadir bukan semata sebagai pengajar dan pelajar, melainkan sebagai sesama manusia yang saling menopang.
RUMAH YANG HILANG
Sebagian wilayah tempat tinggal kami terendam, sebagian lainnya tersapu bersih. Rumah-rumah menyisakan jejak amarah alam, seakan menyampaikan pesan tentang kelalaian manusia yang menumpuk bertahun-tahun. Beberapa dari kami terpisah dari orang terkasih selama berhari-hari tanpa kabar akibat akses yang terputus. Semua kisah itu mengalir dalam sesi Refleksi dan Pulih Pascabanjir yang kami lakukan bersama. Di ruang itu, kehilangan tidak ditakar dari harta benda, melainkan dari runtuhnya rasa aman. Dari cerita-cerita tersebut, kami belajar bahwa luka tidak bisa dipercepat penyembuhannya; ia memerlukan ruang untuk diakui sebelum benar-benar dipulihkan.
KELAS MENDENGAR
Tanggal 4 Desember 2025 menandai kembalinya ananda ke sekolah setelah melewati ujian kehidupan pascabanjir. Mereka hadir dengan kondisi seadanya, tetapi membawa pelajaran hidup yang tak tertulis di buku mana pun. Pagi itu diawali dengan pembacaan Asmaul Husna dan doa bersama, tanpa tuntutan ketertinggalan materi atau ritme akademik seperti biasa.
Di kelas Delonix Regia, keceriaan berganti keheningan, sementara ketidakhadiran dua ananda yang terdampak justru mengingatkan bahwa setiap anak membawa kisahnya sendiri. Melalui pertanyaan sederhana tentang kabar mereka, kelas diarahkan untuk duduk melingkar, menciptakan ruang setara tanpa hierarki—tempat mendengar, memahami, dan memulihkan jiwa sebelum pengetahuan kembali ditanamkan.
Cerita dibuka oleh wali kelas, lalu dilanjutkan dengan kesempatan bagi ananda untuk berbagi pengalaman pascabencana. Alam menjadi yang pertama angkat suara. Ia menceritakan kepanikan menghadapi banjir besar untuk pertama kalinya, sebagai satu-satunya laki-laki di rumah, saat air terus meninggi tanpa jeda. Dalam kondisi jaringan internet yang masih tersedia, ia sempat mengabarkan situasi melalui grup Whatsapp kelas demi memastikan keadaan teman-temannya.
Kisah berikutnya disampaikan oleh Keyla, yang tak mampu menahan kesedihan saat menceritakan kehilangan rumah dan keharusan mengungsi. Aca menghadapi bencana bersama mama dan adiknya tanpa kehadiran ayah karena tugas di luar kota dan akses jalan yang terputus selama beberapa hari. Setiap cerita membuka lapisan emosi yang berbeda, tapi saling terhubung rasa kehilangan yang sama.
Kesedihan semakin terasa ketika Bilqis menceritakan perjuangan papanya pulang dari Bener Meriah demi berkumpul kembali dengan keluarga. Perjalanan panjang yang harus ditempuh—menahan lapar, melewati jalanan terjal di sisi jurang, mendaki dengan bantuan kabel listrik yang putus, hingga terjatuh di tengah perjalanan—membuat tangis pecah di sudut-sudut kelas. Di momen itu, ruang belajar berubah menjadi ruang kemanusiaan yang paling jujur.
Menjelang akhir sesi, wali kelas menutup dengan pertanyaan reflektif tentang pelajaran hidup yang mereka temukan dari peristiwa ini. Jawaban ananda mengalir jujur: tentang keserakahan manusia, rusaknya alam, kehadiran Allah dalam kesulitan, hingga kesadaran bahwa sawit bukanlah hutan. Kalimat-kalimat polos itu menjadi cermin kejujuran yang kerap luput dari wacana orang dewasa. Di titik tersebut, kami menyadari bahwa pendidikan sejati tidak selalu lahir dari kurikulum resmi, melainkan dari pengalaman yang menggetarkan batin dan membentuk kesadaran.
HARAPAN BERAKAR
Dari peristiwa ini, semoga ananda mampu tumbuh menjadi pohon kehidupan yang kokoh, setidaknya bagi hutannya sendiri. Melalui langkah-langkah kecil—mengurangi penggunaan plastik, menanam pohon, dan menghemat energi—kesadaran ekologis itu kami rawat bersama.
Dalam pembelajaran IPA, kami mengenalkan konsep tumbuhan perintis, makhluk hidup yang hadir pascabencana untuk memulai suksesi ekologi. Seperti merekalah, anak-anak ini belajar bertahan di tanah yang rusak. Dan, kelak, merekalah pelopor masa depan yang lebih kokoh, tempat harapan tetap berakar, meski desa pernah hilang. Sebab, dari luka itulah kehidupan baru perlahan tumbuh dan belajar bernapas kembali.

1 day ago
10























:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5383570/original/096572500_1760683681-tomonobu_itagaki.jpeg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5385173/original/011957900_1760881265-shinta_bachir.jpg)




:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5137245/original/076805300_1739938380-WhatsApp_Image_2025-02-19_at_09.39.29.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5383280/original/059489100_1760669213-STEM_1.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5371592/original/088864600_1759684696-man_city_selebrasi_brentford_city_ap_alastair_grant.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4605535/original/052956900_1696928865-g_1_0_10_potret_ammar_zoni_sudah_bebas_dari_penjara_ucap_rasa_syukur_bisa_kembali_bertemu_keluarga_ammar_zoni-20231009-028-busan.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5376982/original/062419800_1760070989-iPhone_17_Pro_Series_01.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5384578/original/024426200_1760796172-AWS_-_Foto_3.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4609435/original/063264000_1697178650-ammar_zoni-20231009-024-busan.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5383603/original/093485800_1760684902-WhatsApp_Image_2025-10-15_at_11.19.48.jpeg)