
Tim Kuasa Hukum Nadiem Anwar Makarim menegaskan bahwa penetapan status tersangka terhadap kliennya dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak sah secara hukum. Pernyataan itu disampaikan dalam sidang praperadilan dengan agenda penyampaian kesimpulan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat.
Perwakilan tim kuasa hukum, Dodi S Abdulkadir, mengatakan bahwa Kejagung tidak memiliki bukti permulaan yang sah saat menetapkan Nadiem sebagai tersangka. Menurutnya, bukti permulaan yang sah harus menunjukkan adanya kerugian keuangan negara yang nyata dan pasti (actual loss), bukan sekadar dugaan atau potensi kerugian (potential loss).
“Salah satu bukti yang diajukan Kejagung adalah hasil ekspos resmi antara penyidik dan auditor yang hanya menyebut dugaan perbuatan melawan hukum dan potensi kerugian negara, bukan kerugian yang nyata dan pasti,” ujar Dodi dalam keterangannya, Jumat.
Tim kuasa hukum berpendapat bahwa berdasarkan ketentuan hukum positif, hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan untuk menyatakan adanya kerugian keuangan negara secara sah.
“Dalam ekspos yang dibacakan penyidik di hadapan kami tidak disebutkan adanya kerugian negara. Kalimat yang muncul justru ‘akan dihitung kerugian negara’, yang artinya pada saat itu belum ada hasil perhitungan apa pun,” ungkap Dodi saat membacakan pokok-pokok kesimpulan di hadapan majelis hakim.
Selain itu, Dodi menambahkan, hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di 22 provinsi menunjukkan bahwa harga pengadaan laptop masih dalam kategori normal dan tidak ditemukan indikasi mark-up.
“Artinya hingga saat ini tidak ada unsur kerugian negara sebagaimana ditegaskan BPKP, lembaga resmi yang berwenang melakukan audit keuangan negara,” tegasnya.
Prosedur Hukum Dinilai Tidak Dipenuhi
Tim kuasa hukum juga menilai bahwa penetapan tersangka terhadap Nadiem dilakukan sebelum terpenuhinya alat bukti yang sah. Dodi menegaskan, bukti permulaan harus diperoleh terlebih dahulu sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka.
Lebih jauh, Nadiem disebut tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Kejagung, yang seharusnya menjadi hak konstitusional bagi setiap warga negara untuk mengetahui status hukumnya dan menyiapkan pembelaan diri.
Tim hukum juga mempersoalkan penggunaan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) umum yang kemudian dijadikan dasar penerbitan Sprindik khusus, yang menurut mereka tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 109 KUHAP. Berdasarkan sejumlah temuan tersebut, tim kuasa hukum menilai penetapan tersangka dan penahanan terhadap Nadiem cacat hukum, baik dari segi formil maupun materiil.
“Seluruh proses penetapan tersangka hingga penahanan terhadap pemohon menjadi cacat hukum dan tidak sah. Karena itu harus dinyatakan batal demi hukum, dan seluruh akibat hukumnya tidak memiliki kekuatan mengikat,” pungkas Dodi. (E-3)